Saturday, December 26, 2020

Desember

    
     Jika ditanya momen paling berat yang pernah aku hadapi di dunia ini, maka jawabannya adalah di saat aku berumur 20 tahun lebih tepatnya di akhir tahun 2020. Yups, bulan itu adalah bulan Desember, bulan yang sebentar lagi akan digantikan posisinya oleh bulan baru yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. 
     Selama ini aku memang belum cukup mengenal diriku sendiri, tapi yang aku tau, aku tidak pernah merasa stress, depresi, bahkan sampai tingkat mau menyerah.             Tulisan ini bukan hanya untuk melampiaskan semua emosi, kesedihan, kemumetan, dan air mata yang sudah aku rampung selama 20 hari. Namun, tulisan ini aku dedikasikan kepada kalian yang pastinya harapanku adalah semoga kalian tidak pernah merasakan seperti apa yang aku rasakan. 
     Sejak aku bekerja di suatu tempat, aku memang selalu menanamkan yang namanya mencintai sebelum mengeksekusi. Artinya, aku berusaha menerima posisiku waktu itu dan kemudian aku mengerjakan pekerjaannya.        Memasuki masa-masa berakhirnya kontrak kerja, di tempat tersebut ada pergantian karyawan yang artinya pasti orang-orang yang ku temui berbeda dengan sebelumnya. Sebagai orang yang sangat tidak suka dengan sebutan "penitip nama", aku memutuskan untuk kembali ke kantor di tengah pandemi untuk mengurusi beberapa berkas yang memang bersifat urgent. 
     Aku tidak pernah merasa kesal ataupun benci jika kerjaanku dibilang tidak memuaskan, akan tetapi aku sangat tidak suka jika diberitahu atau ditegur dengan kasar. Mungkin untuk sebagian orang hal tersebut biasa saja, tapi di tempat tersebut tidak hanya mereka yang capek. Memiliki partner kerja dan anggota yang pengertian bahkan membantu dengan sangat banyak tanpa mengharap apapun benar-benar pemberian tuhan kepada aku waktu itu. 
     Kepada tiga orang aku selalu mengeluh, menangis, mensupport, dan meminta bantuan serta keikhlasan mereka untuk menyelesaikan project itu bersama-sama. Kenyamanan di tempat kerja, karyawan yang ramah, dan saling menyapa merupakan hal kecil yang justru bisa membuat kerjaan seseorang bisa selesai dengan maksimal. 
    Selama menghadapi semua itu, aku selalu menghibur diri sendiri dengan bilang "it's okay Yul, sebentar lagi selesai kok". Waktu Itu, Perasaanku bercampur aduk, mulai dari senang sampai sedih. Senang karena urusan dengan karyawan yang "menyebalk**" akan segera selesai. Sedih karena harus berpisah dengan tim yang sangat loyal, kinerjanya bagus dan sangat kompak. 
     Tidak lama setelah kejadian yang menyuramkan itu, aku bertemu dengan culture yang sebelumnya tidak pernah terlibat sama sekali di dalam hidupku. Aku tidak bisa menceritakan secara detail dari culture itu karena aku benar-benar tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku ketika terlibat dalam culture tersebut. Sedih, stress, depresi, down, worry dan perasaan yang lain. 
    Satu kata yang muncul di benakku waktu itu, yaitu " MENYESAL". Menyesal karena sudah berani masuk ke dalam, menyesal karena tidak mengikuti apa kata hatiku sebelumnya. Tidak ada hari tanpa menangis, mencakar rambut, memukul kepala dan mogok makan selama berhari-hari bahkan aku sempat berpikir untuk berhenti ibadah. Namun, tuhan saved me. Tuhan masih menyayangiku dengan kembali menghadirkan orang-orang yang memelukku setiap saat bahkan aku tidak tahu kenapa mereka sebaik itu dan seribu terimakasih pun tidak akan cukup mewakili perasaan terimakasihku kepada mereka. 
     Apa aku selalu menangis di depan orang lain? 
    Tidak. Orang-orang tidak sadar akan kondisiku waktu itu bahkan aku masih mengerjakan apa yang menjadi kewajibanku. Di sisi lain, aku bersyukur karena pernah berada di posisi itu karena jujur, banyak sekali hikmah yang bisa aku petik dari kejadian tersebut. 
    Salah satu hikmahnya adalah aku bisa belajar culture baru, tidak lagi menjadi orang yang gampang mempercayai orang lain, cukup kebal mendengar hujat an terutama di sosial media karena situasi nya yang masih pandemi. 
     Sebelum aku benar-benar berhasil menyembuhkan diri dari kejadian itu, aku kembali mendapat sambaran petir. Di suatu siang yang cukup mendung dan aku masih bersembunyi di dalam selimut karena badanku yang sudah tidak kuat menahan sakit, lebih tepatnya sakit batin (bukan gila loh ya:v), HP ku berbunyi menandakan ada panggilan dari keluargaku karena notifnya memang  notif yang hanya aku setting untuk panggilan dari keluarga. 
    
    Aku mendengar suara perempuan hebat (ibu) yang lemah. Ya, ibuku sedang sakit. Sebenarnya, kabar itu sudah aku dengar seminggu sebelumnya, akan tetapi ibu melarangku untuk pulang. Namun, setelah mendengar suara ibuku waktu itu, semua kerjaan yang belum selesai sama sekali tidak aku pikirkan. Aku memutuskan untuk pulang kampung dan merawat ibuku yang merupakan satu-satunya orang tua yang aku punya di dunia. 
    Satu perasaanku waktu itu adalah "TAKUT". Duniaku waktu itu sedang tidak baik-baik saja. Kata-kata ini sangat-sangat tidak cukup menggambarkan perasaanku, akan tetapi setidaknya aku menulis, menangis, dan bercerita. Aku sudah kuat, dan betul apa kata dosenku waktu Itu bahwa badai justru membuatku jauh lebih kuat. Terimakasih Desember untuk semua cobaan yang memberikan kekuatan.

Monday, December 7, 2020

General Problem

     
     Corona masih setia tinggal di bumi. Namun, semua kegiatan tidak berhenti dan orang-orang selalu mencari cara bagaimana mereka tetap beraktifitas walaupun dari rumahnya masing-masing.       Salah satu hal yang mungkin membuat teman-temanku sedikit merasa kesal dengan situasi saat ini adalah karena mereka, terutama anak organisasi , tidak bisa merealisasikan program kerjanya dengan baik. 
     Mereka harus memutar otak dan mencari seribu cara supaya program kerja mereka tetap jalan dan dilakukan secara daring. Bayangkan kalau kalian harus rapat, nyiapin acara sampai melakukan lpj secara daring. Mungkin hal Itu bisa terhandle, tapi KesalahPahaman, kemumetan dan perasaan stress yang lain selalu menjadi bunga-bunga di dalam hidup mereka. 
      Sebagai anggota organisasi yang sleber (antara semangat dan tidak semangat), aku cukup kaget ketika sadar kalau sebentar lagi semua organisasi akan mengadakan yang namanya pemilwa. Artinya, aku sudah akan lengser dari jabatan pengurus sebentar lagi. Namun, satu hal yang menjadi pertanyaanku di saat aku sedang tiduran dan menikmati hujan Jogja yang sukanya bertamu di sore hari. 
     Pertanyaan Itu adalah "apa saja perbedaan yang akan ditemukan pada pemilwa kali ini?"
     Selama 2 tahun menjadi seorang mahasiswi, banyak cerita teman-teman baik dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap pemilwa. Buat mereka yang lebih memilih "manut" terhadap hasil pemilwa mayoritas beranggapan bahwa pemilwa hanya membuat orang-orang melakukan demo (padahal Itu kampanye🙄) di hari H pemilwa. 
     Lantas, bagaimana dengan pemilwa di tengah pandemi ini yang pastinya hal seperti Itu tidak Akan ditemukan di depan atau taman fakultas? 
     Masihkah perdebatan tentang pemilwa tetap terjadi? 
     Ok, mari kita lihat saja dan saya siap menjadi pendengar sejati🙂

Friday, November 27, 2020

Penutup Kepala

    Eumm kangen banget nulis di blog setelah seminggu dibikin gila sama tugas kampus yang ngalirnya lebih deras dari pada air terjun.  
    Setelah kurang lebih dua tahun merantau di Jogja, akhirnya aku mulai bisa menyesuaikan diri baik dalam hal sosialisasi, pakaian ataupun bahasa baik ketika di rantauan ataupun di kampung halaman. 
    Jika seseorang menemui aku di Jogja dan di rumah, maka dia pasti akan melihat perbedaan yang sangat mencolok terutama dalam hal pakaian yang aku pakai. 
     Emang penting ya menyesuaikan pakaian dengan lingkungan Kita?
     For me, hal itu penting banget karna aku tinggal di sebuah desa yang masih memegang nilai agama dengan sangat kuat sehingga tidak mungkin sekali kalau ketika ada di rumah, pakaianku tidak resmi seperti ketika di kos. 
     Ketika pulang ke rumah, ibuku selalu mengingatkanku supaya tidak memakai celana walaupun dengan baju yang panjangnya sampai lutut. Namun, apakah lantas ketika aku sedang di Jogja anti dengan orang yang penampilannya berbeda? 
    Jawabannya adalah tidak. Justru dari mereka lah aku mulai belajar kalau yang namanya pakaian tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan sebuah penilaian. Ketika kumpul bersama teman-teman dan waktu itu aku sedang pakai gamis, aku selalu bilang sama mereka supaya mereka tidak menjudge aku sebagai perempuan yang ketika ngomong nggak pernah ada kata kasar karena pada faktanya, aku juga masih bar-bar.
    Kata orang-orang, seorang perempuan akan terlihat cantik dari cara dia memakai jilbab. Well, aku tidak begitu yakin dengan semua itu. 
    Seiring berjalannya waktu, gaya memakai jilbab juga sudah mulai berkembang dan tentunya lebih keren dari pada sebelumnya, mulai dari gaya jilbab yang tanpa jarum sampai dengan yang harus memakai jarum satu uleran. 
    Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu temanku (perempuan) di suatu tempat. Perempuan itu adalah temanku yang bisa dibilang cukup akrab karena kita sedang mengurusi pekerjaan yang sama. 
     Kami bertemu di sebuah lobby karena sedang ada janji dengan seorang klien. Seperti biasa, aku tidak pernah peduli dengan pakaian seseorang karena masih banyak hal di otakku yang justru lebih membutuhkan kepedulianku/perhatian. Namun, semua itu berubah. 
     Setelah kami bertemu dengan klien tersebut yang juga sama-sama perempuan, tiba-tiba dia melontarkan perkataan yang tidak enak untuk didengar yang inti dari perkataannya adalah sebuah pertanyaan yang menurut aku sebagai seorang yang pernah belajar pragmatik, maksud dari perkataan klien tersebut adalah pernyataan. 
    Klien tersebut marah hanya karena jilbab yang dipakai oleh temanku tidak rapi dalam penilaiannya bahkan sempat menyinggung soal "kafir" berdasarkan info dari temanku yang lain yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama.
     Hal yang sangat aku sayangkan adalah omongan si klien membuat aku dan teman-teman yang lain mulai sangat paham kalau setinggi apapun pendidikan seseorang, omongan tetap menjadi sumber penilaian yang utama.
     "Kok kamu temenan sama orang yang nggak pakai jilbab sih Yul?"
    "Kok kamu temenan sama orang yang tinggal sekamar dengan cowoknya sih Yul?"
    Pertanyaan itu sudah sangat sering aku dengar dan justru aku heran terhadap orang yang bertanya karena mereka sepertinya belum paham arti hidup yang sebenarnya. Kalau Kita hanya berputar di lingkaran yang sama, lantas kapan kita akan mencapai puncak?

Friday, November 13, 2020

Apakah Aku Seburuk Itu?

 
   Beberapa tahun yang lalu, aku sudah sering mendengar cacian dari orang-orang, baik yang jauh ataupun yang dekat.                   Awalnya, aku memikirkan bahkan terbawa perasaan gara-gara cacian mereka, tapi dengan berbagai cara mulai dari tinggal di pesantren, memutar otak supaya bisa menjadi juara kelas sampai akhirnya aku bisa melupakan semua itu.
      Memasuki kelas akhir SMA, cacian mereka kembali terdengar. Selalu ada saja topik-topik tentang aku yang mereka gosipkan. Topik dari cacian itu yang paling membuatku heran adalah cacian mereka karena aku belum memiliki pasangan.              "Hello, this is my life, and you can not control it!"
    Kalimat itulah yang selalu aku teriakkan dengan sangat keras di dalam hatiku sendiri supaya tidak merasa panas.
Setelah berubah status dari mahasiswa menjadi mahasiswa, aku pikir bisa membuat orang bungkam dan tidak mencaciku lagi karena sebelumnya, mereka justru memuji orang yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, ternyata dugaanku salah. Mereka tetap saja selalu merasa puas ketika bisa menggosipkan orang lain. 
    "Cewek kok kuliah ke luar kota? Pasti pulangnya nanti jadi perempuan ugal-ugalan." 
    Aku hanya tersenyum ketika mendengar cerita dari kerabatku tentang ucapan orang-orang.
     Ketika ada waktu luang, aku selalu berpikir, kenapa orang-orang yang selalu menjadi bahan gosip adalah orang dari kalangan biasa? Padahal kalau dilihat-lihat anak kepala desa, dan pejabat yang lainnya pun juga cocok buat dijadikan bahan gosipan. 
   Kata Henry Manampiring dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras, jangan terlalu sibuk dengan hal yang diluar kendali kita yang salah satu contohnya adalah opini orang lain. 
   Setelah membaca buku itu, aku tertampar dan aku merasa bodoh karena selama ini aku masih menjadi orang amatiran yang suka terbawa perasaan dengan omongan orang lain. 
    Ada satu lagi yang benar-benar membuatku sadar kalau orang akan tetap membudayakan gosip sekalipun kita tidak ada di tanah itu. 
    Anyway, dari pada kelamaan aku ngecurcol mending aku kasik tips supaya bisa membungkam omongan orang.
1. Abaikan mereka
Jika dalam satu acara ternyata kalian bertemu dengan para 'gosipers', tugas kalian jadilah orang yang tuli. Mereka akan berhenti kalau sudah capek.
2. Tidak usah ngomel-ngomel atau mencaci balik mereka di sosial media seperti FB, IG, story WA atau yang lai n karena kalau kalian melakukan hal itu, maka mereka akan semakin memiliki semangat untuk bergosip.
3. Lakukan yang terbaik!
Jangan sampai karena omongan orang-orang tentang kalian lantas kalian menjadi down dan tidak percaya terhadap dirinya sendiri karena kalau hal itu terjadi sama saja kalian kalah dengan mereka.

Itu mungkin beberapa tips yang biasa aku terapkan di dalam kehidupanku pribadi. 
Semoga bermanfaat 💞

Friday, November 6, 2020

Logika dan Perasaan

    Tentu saja, aku adalah perempuan normal sehingga sering heran ketika ada yang bilang kalau aku tidak pernah terlihat seperti memiliki pengalaman dalam dunia percintaan. Sejak merantau untuk kuliah, aku memang sudah taubat dari perbucinan dan ternyata aku merasa merdeka.
     Buat teman-teman masa kecil sampai di SMA ku, mungkin mereka tidak asing lagi kalau tiba-tiba aku bilang kalau aku sedang mengagumi seorang laki-laki karena sejarah kebucinanku memang tidak hanya satu ataupun dua tahun.
     Selayaknya orang banyak, aku juga pernah merasa sia-sia ketika waktuku hanya ku habiskan untuk mengagumi ataupun menyukai seseorang. Namun, justru dari pengalaman itu, aku mulai bisa menulis sekalipun tidak pantas untuk dibaca orang lain dan mulai abai dengan perasaan.
     Di umur yang ke-20 tahun ini, aku melihat satu sisi yang berbeda di dalam diriku sendiri, yaitu aku mulai tidak takut untuk menunjukkan ataupun menceritakan kepada teman-teman jikalau suatu saat nanti ada seorang laki-laki yang aku kagumi.
     Segala sesuatu yang ada di dunia memiliki banyak resiko termasuk jatuh cinta. Aku tidak menyesak, sama sekali tidak, atas pengalamanku di masa lalu karena sekali lagi, semua itu memberiku banyak pelajaran berharga.
      Apakah perempuan tidak boleh mencintai duluan?
     Pertanyaan itu memang pertanyaan lama, akan tetapi masih banyak perempuan yang di cap "girlish" hanya karena mereka mencintai seorang laki-laki dan seakan-akan perempuan tidak memiliki hak atas perasaannya sendiri.
     Di awal menulis ini, banyak ide yang ada di dalam benakku, tapi ternyata pembahasan tentang cinta memang belum bisa aku jelaskan dengan baik.

Hmmm baiklah, mari kita akhiri saja tulisan ini karena ternyata cinta itu memang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata (eakkk)😅.



Saturday, October 24, 2020

Kesalahpahaman terhadap Perempuan

     
Pic: lifestyle.okezone.com  
    Wow, setelah seabad lamanya tidak menulis di blog karena tuntutan tugas ini itu yang deadlinenya suka bikin tidur tidak nyenyak, akhirnya i am comeback with my new topic. 
     Sudah 3 bulan aku di rumah dan selama itu pula aku hanya diam dan melakukan sesuatu yang menurut aku bisa mengembangkan skill walaupun tidak jarang juga aku rebahan. Di suatu hari, ibu mengajakku ke pasar dan ketika aku berdiri sedang menunggu ibu yang membayar belanjaannya, ada seorang perempuan yang menurut aku umurnya tidak jauh beda dengan ibu. 
     "Anakmu tunangan sama siapa?" tanya perempuan itu tanpa basa-basi terlebih dahulu. 
     Sebagai orang yang tinggal di desa dengan budaya perjodohan di usia muda, tentu aku tidak kaget dengan pertanyaan perempuan tersebut. Namun, aku menjadi kesal ketika perempuan itu masih mengutarakan omongan setelah ibuku menjawab kalau aku belum memiliki pasangan.
     "Jangan-jangan anakmu tidak ada yang meminang karena sibuk mencetak prestasi dan berkarir sehingga para laki-laki sungkan untuk mendekat." Lanjut perempuan itu masih dengan tatapannya yang sulit ditebak.
      Mendengar omongan perempuan tersebut membuat aku teringat akan salah satu artikel yang pernah aku baca tentang perempuan yang cerdas akan sulit mendapatkan pasangan serta perempuan yang memiliki ambisi tinggi justru dipandang tidak menarik oleh seorang laki-laki.
      "Ketika perempuan mengalahkan laki-laki dalam lingkup kecerdasan, laki-laki merasa terancam dan sisi maskulinnya menjadi luruh," ujar Park dalam sebuah artikel yang berjudul perempuan semakin pintar semakin sulit cari pasangan.source
     Sebenarnya, aku ingin sekali menjawab omongan seorang perempuan yang menatapku bersama ibuku sendiri, akan tetapi aku tau kalau dia lebih tua dari pada aku dan posisinya masih di tengah keramaian sehingga aku lebih memilih diam dan segera mengajak ibu untuk menjauhinya.
     Seorang perempuan memang sudah mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu karena semua orang sudah tahu kalau perempuan adalah calon ibu sekaligus sekolah pertama untuk anak-anaknya.             Lantas, kenapa ketika seorang perempuan mencari ilmu justru dibilang sedang membuat laki-laki minder atau dengan kata lain gengsi untuk mendekatinya?
     Seorang laki-laki yang juga Suka mencari ilmu pasti akan paham dan tidak sungkan jika perempuan yang mereka suka mempunyai karir ataupun pendidikan yang lebih tinggi dari pada mereka karena hal itu justru demi kebaikan dirinya sendiri ketika berkeluarga. 
      Di dalam sebuah keluarga, antara perempuan dan laki-laki mempunyai kewajiban untuk saling mengajari sesuatu baik dalam Hal akademik ataupun non-akademik walaupun seorang laki-laki adalah imam untuk istrinya bukan berarti semua hal dibebankan kepada laki-laki tersebut termasuk menguasai semua ilmu.
     Jika ada perempuan di luar sana yang sukses dan belum memiliki pasangan bukan berarti dia membuat laki-laki gengsi untuk mendekatinya, akan tetapi dia pasti memiliki alasan untuk tetap fokus pada karir ataupun pendidikannya sehingga tidak bisa dikatakan kalau pendidikan dan kecerdasan menghambat datangnya pasangan.

Saturday, October 3, 2020

Kekasih Baru Silung

     Sambil duduk dan main HP di surau milik keluarga, aku melihat adek sepupu yang sedang asik sendiri dengan kegiatannya yang mencuci motor. Walaupun dia adalah adek sepupuku, orang-orang selalu mengira kalau dia adalah saudara kandungku disebabkan kedekatan kami berdua yang sudah seperti cicak dan dinding. Selain itu, dia juga merupakan founding father dari panggilan "ba'ung" untukku yang akhirnya tetangga kami juga selalu memanggilku dengan ba'ung, padahal cita-cita terbesarku adalah dipanggil Yuli atau Fitri supaya tetap terdengar cantik caelahhhh🤣🤣🤣.
      
     Beberapa bulan yang lalu, adek sepupuku itu yang biasa aku panggil dengan Silung mendapat kekasih baru di dalam hidupnya berupa motor Supra dengan plat M dari saudara kandungnya. Sebenarnya, motor itu merupakan motor bekas yang sudah rusak beberapa mesinnya, akan tetapi Silung tetap menyukainya dan sangat bahagia ketika ibu membayar biaya untuk memperbaiki motor tersebut. Memang banyak tingkah aneh Silung yang tidak bisa aku pikir dengan logika, lebih memilih motor Supra dari pada Vario misalnya🤣.
.    Jauh sebelum kekasih barunya itu datang (motor Supra), Silung sudah dibelikan motor Vario oleh ibunya yang merupakan bibiku dari jalur ibu. Namun, motor Supra itu tetap menjadi juara di hati Silung bahkan dia selalu mencucinya dua hari sekali, padahal hal itu tidak pernah dia lakukan terhadap motor Varionya. Mungkin prinsip Silung adalah lebih memilih nyaman dari pada mahal dan merek.
     Selain menjadi saudara sepupu, Silung juga menjadi partner kemanapun aku pergi. Walaupun Silung adalah seorang laki-laki, aku tidak pernah mau diboncengnya dan lebih memilih untuk memboncengnya saja karena kebiasaannya dia yang suka meniru pembalap Rosi ketika naik motor.
     Silung selalu berhasil dalam merayu ibu kandungku karena buat ibu, Silung bukan hanya seorang ponakan, akan tetapi juga sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri. Tangisan Silung adalah kiamat untukku karena pasti tidak lama dari itu, dia akan cerita kepada ibu kalau aku mengusilinya sampai menangis sehingga aku harus siap-siap untuk mendapat surat cinta berupa nasihat atau lebih tepatnya omelan dari ibu.🤣🤣
     Beberapa hari yang lalu, paman yang merupakan ayah Silung yang berangkat sekolah menggunakan motor Supra nya karena kami mendapat kabar kalau motor Supra Silung mati di tengah jalan disebabkan mesinnya rusak. Setelah mengantarkan Silung ke sekolah menggunakan motor Vario, paman membawa motor Supra tersebut ke bengkel dekat rumah supaya mesinnya diganti. Namun, tukang bengkel tersebut tidak mengganti mesinnya melainkan mengambil bensin karena ternyata bensin motor Supra Silung ludes tidak tersisa setetes pun. Silung tetap Silung yang membuat semua orang tertawa lepas dengan kekonyolannya. 

Sunday, September 27, 2020

Suka Duka Dunia Organisasi

     Memasuki masa penerimaan mahasiswa baru tentu menurut orang-orang peran seorang kakak tingkat atau yang biasa disingkat dengan kating sangatlah penting terutama ketika disangkut pautkan dengan organisasi. Sebagai seorang kakak tingkat eaaaaakkk🤣yang sering mendapat pertanyaan dari para maba yang imut-imut tentang apakah mereka cocok ikut organisasi atau hanya menjadi mahasiswa kupu-kupu membuat aku menjelaskan kali lebar kepada mereka tentang suka duka di organisasi. 
     Sebenarnya, salah satu hal yang membuat aku heran adalah kenapa mahasiswa kupu-kupu selalu dikonotasikan negatif? Dari sekian banyak temanku yang tidak organisasi, beberapa di antara mereka bahkan jauh lebih produktif dan tidak seperti pemikiran orang-orang tentang mahasiswa kupu-kupu pada umumnya yang kerjaannya hanya di kampus-rumah/kos dan berujung dengan rebahan. Para kakak tingkat yang sudah kece badai mulai mencari cara bagaimana mereka bisa mengajak adek tingkat untuk bergabung dengan organisasi karena hal tersebut memang sudah kewajiban dan juga mewadahi para maba yang tertarik dengan dunia organisasi. Namun, kembali lagi kepada keputusan para maba karena mereka memiliki hak penuh untuk mendaftar atau tidak di sebuah organisasi. 
      Sebagai mahasiswa basi yang sedikit mengalami beberapa kejadian suka duka menjadi anak organisasi, aku ingin sedikit bercerita tentang apa saja suka dukaku selama menjadi mahasiswa terutama ketika berada di organisasi.
      
      
  Bisa mengenal dan akrab dengan kakak tingkat atau teman lintas jurusan sampai dengan lintas fakultas merupakan salah satu hal yang aku syukuri karena ikut organisasi. Selain itu, liburan semester dan hari weekendku bisa bermanfaat ketika ada acara di organisasi sehingga aku tidak hanya gulang guling tidak jelas di dalam kos.
    Selanjutnya adalah ikut organisasi membuat aku merasakan hal-hal kecil sampai besar yang sebelumnya belum pernah aku rasakan seperti mengikuti acara di luar Jogja, menginap di sebuah penginapan yang salah satu fasilitasnya adalah ranjang susun karena sejak kecil, aku sudah ingin tahu rasanya tidur di ranjang susun sampai dengan menjadi panitia lomba nasional sehingga memperluas relasi.
.   Setelah berkenalan dengan hal-hal suka di dalam pengalamanku menjadi anggota organisasi, marilah kita lanjutkan dengan hal-hal duka atau lebih tepatnya resiko yang harus berani kita ambil. Resiko yang pertama adalah sebagai anak organisasi, Kita harus pintar-pintar dalam mengatur waktu. Sejak dulu, aku selalu menanamkan prinsip supaya organisasi tidak mengganggu kuliah. Hal itu tidak sulit untuk dilakukan bahkan organisasi bisa menunjang akademikku yang salah satunya adalah semakin membuatku percaya diri untuk berdiri di depan teman-teman ketika presentasi mata kuliah.
.   Yang kedua sekaligus yang terakhir adalah harus berani berkomitmen dan mengemban amanah dengan baik serta siap untuk merasa lelah dan menhan kantuk walaupun sebenarnya kita sering kali tidak percaya terhadap diri sendiri. Selain itu, hal terbesar yang membuat aku lupa akan hal-hal duka adalah bertambahnya pengalaman ketika ikut organisasi, and I would like to say that I am nothing without my organization.
     Once again, setiap orang mempunyai hak atas pilihannya masing-masing terutama tentang apa yang akan mereka ikuti dan tidak. So, define your own success. 
Selamat berjuang everyone😁.
     

Thursday, September 24, 2020

Drama Lawas KRS

     Selama menjadi seorang mahasiswa, memasuki semester Lima di fakultasku merupakan masa di mana mahasiswa dipenuhi dengan hal-hal krusial yang salah satu contohnya adalah ketika masa input kartu rencana studi atau yang lebih dikenal dengan KRS. Seandainya KRS bisa diinput secara offline, mungkin hal itu tidak akan membuat jantung menjadi copot. Namun, di zaman yang sudah modern dan serba digital ini ditambah dengan pandemi, maka KRS harus diinput secara online oleh mahasiswa dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh kampus.
     Jadwal penginputan KRS memang cukup lama sekitar empat sampai lima jam, akan tetapi jika kita menginput KRS di detik-detik berakhirnya jadwal, maka aku jamin kalau mata kuliah sudah banyak yang penuh terutama mata kuliah pilihan.
     Karena sudah sering mendengar cerita horor kating dan teman-teman tentang drama KRS, maka H-29 jadwal input KRS prodiku, aku sudah mulai menghubungi kating dan teman-teman untuk bertanya cara menginput KRS dengan baik dan tentunya mendapat kelas yang diinginkan. Semua orang yang menjadi korban pertanyaanku sangat sabar menjelaskan rahasia-rahasia jitu yang bisa aku pakai supaya lancar menginput KRS.
      Selain sistemnya yang "siapa cepat dia yang dapat", salah satu kendala input KRS adalah jaringan yang suka tidak bersahabat lebih-lebih apabila sedang padam listrik. Walaupun begitu, banyak pembelajaran dan tips yang aku dapatkan selama persiapan menginput KRS.
      Pertama, sebelum hari H input KRS, pastikan kalau kita sudah menyusun jadwal sesuai jam dan kelas yang kita inginkan. Sebenarnya, kita bisa skip tips ini selama paham kelas dan dosen yang mengampuh setiap mata kuliah.
      Kedua, jangan pernah sungkan untuk bertanya kepada dosen penasihat akademik atau TU jika kita masih bingung atau ada hal-hal di akun akademik kita yang tidak sesuai dengan punya yang lain. Sebelum hari input KRS tiba, aku juga meminta teman-teman untuk menjelaskan semua tentang KRS. Namun, aku juga memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada dosen atau TU karena terkadang sebelum menginput KRS, kita harus mengikuti langkah yang lain. 
      Ketiga, jangan pernah sungkan untuk konsultasi bersama kating atau teman-teman kita yang sebelumnya sudah berpengalaman dalam menginput KRS. Selain konsultasi tentang KRS, aku juga konsultasi tentang mata kuliah yang akan aku ambil karena bagaimanapun, mata kuliah adalah hal yang paling penting Kita siapkan sebelum masuk kuliah.
     Tips yang terakhir adalah pastikan kalau jaringan kita aman. Berdasarkan pengalaman beberapa temanku, kita juga bisa memakai dua atau tiga HP untuk mengisi KRS karena terkadang, jika sistem akademik eror di HP yang satu, maka masih ada kemungkinan lancar di HP yang lain.
     Walaupun input KRS sangat penting, jangan sampai KRS membuat kita renggang bersama teman-teman kita loh yaa! Karena walaupun sistem KRS adalah rebutan, jangan pelit-pelit untuk menyebalkan atau menjelaskan informasi KRS kepada teman-teman yang belum paham.

        

Wednesday, September 16, 2020

Kang Adi dan Lengkong Press

   Diam di kos dan berteman dengan semut-semut yang entah keluar dari mana membuat aku sangat senang ketika salah satu senior mau mengajakku bertemu dengan pak Edi Ah Iyubenu di kafe barunya beliau yang lokasinya tidak jauh dari kos.
    Sebagai mahasiswa rantauan dan penghuni kos an yang belum memiliki motor membuat senior yang biasa aku panggil dengan kang Adi harus menjemputku terlebih dahulu ke kos.
    Kang Adi adalah senior bersejarah urutan kedua setelah Michael yang berhasil mengajakku bertemu dengan teman-teman alumni pesantren yang lain.      Aku menganggap hal itu sebagai suatu sejarah mengingat bagaimana sifatku dulu yang masih sangat malas untuk bertemu dengan orang banyak disebabkan sifat malu.
    Kang Adi juga berasal dari Madura, lebih tepatnya beberapa kilometer dari pesantren dimana aku pernah menuntut ilmu. Lengkong, sebuah desa yang tidak asing aku dengar namanya karena beberapa temanku juga berasal dari sana sekaligus juga desa kang Adi.
    Setelah sampai di kafe pak Edi, aku dan kang Adi harus menunggu beliau sekitar dua jam karena pak Edi masih ada di kafenya yang lain. Karena kami juga tidak sedang buru-buru, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu beliau sambil mengobrol ditemani oleh secangkir teh milikku dan secangkir kopi milik kang Adi.
"Aku sangat suka dan penasaran cara berbisnis seperti pak Edi Yul."
"Kalau aku sih lebih penasaran sama literasinya pak Edi kang."
"Iya, itu juga bagus. Aku sampek pernah nge design logo buat bisnisku loh." Kata kang Adi sambil menunjukkan logo berwarna merah maroon dengan tulisan "Lengkong Press" di bawahnya.
    Tanpa diberitahu pun, aku tahu kalau kata Lengkong itu diambil dari nama desanya kang Adi sendiri. Aku tersenyum bangga melihat logo itu dan entah kenapa aku bilang terhadap diriku sendiri kalau kang Adi pasti bisa menjadi orang dengan bisnisnya yang sukses.
    Aku belum bisa meniru kang Adi yang penuh dengan keunikan itu karena dari jiwa bisnis saja, aku belum mempunyai ketertarikan terhadap hal tersebut. Namun, berkali-kali aku juga bilang kepada diriku sendiri that we can shine with our own ways.
"Kenapa tidak berbisnis di Madura saja kang?" tanyaku kepada kang Adi yang baru saja menyeruput kopi di depannya.
"Doakan saja Yul." Jawab kang Adi tersenyum sambil memperbaiki kacamatanya.
    Aku punya banyak teman yang memang mendalami dunia bisnis, akan tetapi hanya beberapa di antara mereka lah yang berani mengembangkan bisnisnya dengan cara yang unik, membuat logo misalnya.
    Kurang lebih satu bulan setelah obrolan kami malam itu, aku tidak bertemu dengan kang Adi karena pulang kampung. Ketika sedang menscroll beranda Facebook, tiba-tiba ada satu notifikasi yang berhasil membuat aku kaget. 
Lengkong Press mengundang anda untuk menyukai tautannya.
    Begitulah kira-kira isi notifikasi yang tanpa menunggu waktu segera aku klik tombol like. Aku tersenyum sekaligus bangga karena ternyata Lengkong Press milik kang Adi sudah mempunyai akun sosmed bahkan bergabung di toko online.      Progress seperti itu menjadi bukti bahwa kang Adi memang berkomitmen untuk mengembangkan bisnisnya dan bukan hanya sebagai hobi. 
"Kang, nanti aku bikin tulisan ya soal kang Adi dan Lengkong Press." Kataku lewat chat yang ku kirimkan setelah melihat story nya di sosmed sehingga muncullah tulisan yang sedang kalian baca ini tentang bagaimana uniknya cara kang Adi dalam berbisnis sehingga berkembang dengan pesat. 
    Hasil memang tidak akan pernah mengkhianati proses dan orang pintar akan kalah terhadap orang yang tekun. Proud of you Kang. Mantap.

Monday, September 14, 2020

Mengelilingi Kota yang Sesungguhnya

     Setelah sekian lama tidak sowan ke pengasuh pesantren dimana dulu aku menuntut ilmu, di weekend kemarin emmak mengajakku untuk pergi sowan bersama-sama. 
     Ketika emmak mengajakku untuk pergi sowan tepat saat H-3, aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan pengasuh dan juga teman-teman di pesantren.
    "Nanti kita mampir ke kota dulu Yuk sebelum berangkat dan pulangnya juga mampir ke sana karena emmak mau membeli kacamata." Kata emmak sambil mengingat kacamatanya yang rusak karena jatuh.
    Mendengar kata kota membuat aku diliputi perasaan khawatir yang luar biasa. Selama 20 tahun menjadi warga kabupaten Sumenep, aku tidak pernah hafal jalan kota walaupun sebenarnya jalan kota di kampung halamanku tidak seribet dengan jalan kota-kota besar.
    "Tapi, emmak tahu kan jalan ke toko yang emmak tuju?"
    "Iya tahu. Nanti emmak tunjukkan." 
    Aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan khawatir tersesat ketika sudah berangkat nanti walaupun emmak lebih hafal jalan menuju kota.
    Pagi-pagi sekali aku dan emmak sudah berangkat karena perjalanan dari rumah ke pesantren harus ditempuh kurang lebih selama dua jam ditambah dengan mampir ke toko yang ingin emmak datangi.
   "Dimana tokonya emmak?".
   "Sebentar Yul. Kita berhenti dulu."
Hmmmm
    Perasaan khawatirku menjadi kenyataan, ternyata emmak juga sedikit lupa jalan kota. Aku menatap emmak dan mulailah emmak tertawa melihat mukaku yang sudah mulai tidak enak untuk dipandang. 
    Setelah bertanya kepada orang-orang di pinggir jalan, emmak berhasil menemukan tokonya dan kami segera berangkat menuju pesantren.
   Selama perjalanan ke pesantren, emmak selalu bilang kalau ia sangat senang karena akhirnya bisa membeli sesuatu yang sudah sangat ia inginkan sejak lama, yaitu minyak pijat. 
   Emmak memang sangat suka membeli minyak pijat karena pijatannya yang sangat enak membuat orang-orang selalu memintanya untuk memijat mereka. 
  "Memangnya di pasar dekat rumah tidak menjual minyak kayak gitu po mak?"
   "Ada kok, tapi harganya lebih mahal. Kalau di kota 150 ribu perbotol, tapi kalau di rumah 151 ribu."
   "Ya Allah. Mending beli di rumah aja mak dari pada harus berkeliling di kota kayak tadi." Ucapku dalam hati melihat emmak dari kaca spion motor yang dibalas dengan senyuman usil oleh emmak.
    Emmak memang sangat suka membeli sesuatu yang lebih murah dengan syarat kualitasnya juga sama-sama bagus walaupun lokasinya sangat jauh. 
     Kapan aku bisa meniru emmak yang sangat hemat ya rabb?
     Suasana pesantren memang sangat berbeda dengan suasana di luar. Banyak hal yang aku dapatkan termasuk kedamaian. 
    "Ehh ada mbak Yuli dan ibunya. Bagaimana kabarnya?" Dawuh ny.Fadhilah yang merupakan pengasuh pesantren.
    Emmak memang akrab dengan beliau bahkan ketika aku sowan sendirian pasti ny.Fadhilah tetap menanyakan kabar emmak.
    "Mbak Yuli nginap di sini ya. Nanti mengajar anak-anak Engenia di sini." Lanjut beliau.
    Aku hanya tersenyum bahagia dan menjawab dengan kata insyaAllah karena sebenarnya, aku juga sangat ingin menginap di pesantren. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri untukku ketika diberikan kepercayaan oleh pengasuh sendiri.
    "Bagaimana Yuli, nulis nggak?" Dawuh K.Naqib yang baru selesai menemui tamunya.
Deggggg
"Iya ustad. Insya Allah istiqamah nulis."
"Bagus. Nanti kirim ke sini ya."
     Ingin rasanya aku berteriak kegirangan ketika mulai menemukan semangat untuk menulis kembali hanya karena pertanyaan dan semangat dari pengasuh pesantren.
    Literasi di pesantren memang belum banyak dikenal masyarakat karena medianya masih terbatas. Namun, soal skill menulis mereka tidak usah diragukan lagi. 
   Setelah sowan ke pengasuh (ny.Fadhilah&K.Naqib), aku tidak lupa untuk mampir ke teman-teman yang masih tinggal di pesantren.
    Beberapa di antara mereka sudah ada yang menjadi pengurus pesantren.
    "Syukurin. Suruh siapa dulu sering melawan pengurus, endingnya kena karma lo dan menjadi pengurus." Ledekku melihat mereka yang baru selesai bercerita tentang suka duka menjadi seorang pengurus.
    "Heleh...dulu, kamu juga lebih parah dari kita kok, cuma kebetulan kamu kuliah di luar mangkanya tidak mendapat karma dari pengurus." Jawab mereka tidak mau kalah.
Ambyarr rekk😂🤣.
    Emmak memandangku dengan ekspresi yang menuntut penjelasan karena aku baru ingat kalau emmak baru mengetahui sisi aku yang pernah menjadi ketua geng pelawan pengurus waktu di pesantren😂.
    "Dulu, Yuli sering melanggar peraturan mak, tapi semua itu dia lakukan karena membela club bahasa Inggrisnya (Engenia) yang selalu dipandang sebelah mata oleh pengurus." Ujar Lia yang tidak lain teman kelas sekaligus teman di pesantren. 
    Aku mulai bisa bernafas dengan lega karena akhirnya bully an mereka berakhir dengan pembelaan😂.
"Jangan lupa belok kiri."
"Jangan lupa belok kanan."
"Lurus saja."
     Emmak masih setia menunjukkan jalan menuju pasar kota dimana ia mau membeli jamu kesukaannya. Selain tidak hafal jalan kota, salah satu sisi kelemahanku adalah tidak bisa mengetahui arah mata angin ketika pergi kemana-mana termasuk Sumenep kota sehingga emmak selalu memakai kata kanan dan kiri ketika menunjukkan jalan.

Wednesday, September 9, 2020

Muda dan Dewasa

     Beberapa hari yang lalu tepatnya setelah salat Isya' aku menghubungi sahabatku yang sedang ada di Jogja lewat telfon seluler supaya tidak terganggu oleh jaringan jika menggunakan WA atau pun IG dan aplikasi lainnya. 
    Baik aku ataupun sahabatku sama-sama jarang mengirim pesan satu sama lain kecuali ada hal yang ingin didiskusikan ataupun dicurhatkan. 
     Waktu itu, aku menghubunginya karena memang ingin menumpahkan segala sesuatu yang di dalam pikiranku selama seharian. Aku mulai bercerita mulai dari A sampai Z dan sahabatku yang biasa aku panggil dengan Ifan itu hanya setia menyimak. 
     Di hari itu, aku disuruh oleh ibuku untuk menghadiri acara walimatul akikah di rumah kerabat jauh. Selama ada di rumah, aku memang sedang melakukan puasa dari mendengar atau membaca masalah yang sedang terjadi di negara dan juga lingkungan sekitar. Ketika aku sudah berkumpul bersama orang-orang yang juga kondangan ke tempat yang sama, puasa yang aku lakukan mulai batal.                Sudah bukan merupakan rahasia lagi ketika ada ibu-ibu sedang duduk bersama, maka gosiplah yang mayoritas mereka lakukan. Seorang perempuan yang duduk tidak jauh dari tempatku bercerita tentang masalahnya yang sedang tidak akur bersama tetangganya sendiri akrena beberapa hal. Perempuan yang lain juga bercerita tentang bagaimana suami mereka mulai sering keluyuran kemana-mana. Penyebab utama dari masalah yang mereka ceritakan adalah karena kesalahan dalam menggunakan media sosial. 
    Aku memang sudah tidak heran jika hal itu yang merupakan penyebabnya karena di zaman sekarang ini, semua orang baik yang tua atau muda, miskin atau kaya, sekolah atau pengangguran sama-sama mengoperasikan yang namanya media sosial. Sesuatu yang berbeda dari semua itu hanya lah bagaimana mereka pintar-pintar memanfaatkan media sosialnya masing-masing. 
    Salah satu contoh dari orang yang bisa mendapat atau membuat masalah dari media sosial adalah ketika mereka tidak bisa menyaring hal-hal yang akan mereka publikasikan kepada media sosial dan tidak.
    Mungkin memang banyak alasan dari mereka yang memposting salah satu privasi mereka ke dunia maya adalah karena mereka merasa ada yang peduli dengan mendapatkannya komen di kolom komentar. Namun, setidaknya menjadi pelajaran untukku pribadi yang memang pernah menjadi bagian dari orang yang selalu memposting segala sesuatu ke media sosial untuk melakukan taubat nasuha dari semua itu :). 
    Setelah mendengar cerita dari para ibu-ibu itu, otakku mulai tidak berhenti berpikir tentang masa depan. Aku menjadi takut bagaimana jika aku menjadi bagian dari orang-orang yang tidak bisa menggunakan media sosial yang baik, bagaimana jika kerjaanku cuma bisa bergosip bahkan sampai bagaimana menjadi perempuan yang memang pintar membangun batasan. 
    "Bukan media sosialnya yang salah, tapi usernya yang belum sadar." Kata Ifan setelah aku menumpahkan semua isi di dalam pikiranku. 
     Aku sangat setuju dengan perkataan Ifan itu karena bagaimanapun juga, media sosial dan segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai dampak positif dan juga negatif masing-masing. 
    "Si A suka ngomongin orang." Kata seorang perempuan di hari berikutnya ketika aku secara tidak sengaja bertemu dengannya di toko sayur. 
     Aku hanya tertawa geli mendengar omongan perempuan itu karena dia tidak sadar kalau dirinya sendiri juga sedang menggosipkan orang.:) 
 Dunia memang penuh dengan orang-orang yang kadang tidak menyadari sifat dan perilakunya sendiri.

Sunday, September 6, 2020

Perempuan Berkulit Hitam, Itulah Aku.

    Seperti biasa, setiap liburan semester aku lebih memilih untuk pulang kampung dari pada tinggal di kos walaupun banyak orang yang bilang kalau diam di kos an jauh lebih menyenangkan. Namun, aku tetap saja lebih suka untuk pulang Dan menghabiskan makanan, eh maksudnya adalah menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah😂.
    Liburan semester ini, aku melihat ibu membeli beras dengan jumlah yang sangat banyak.
    "Buat Apa toh buk beras sebanyak itu? Kan masih ada hasil panen padi kemarin?" tanyaku pada ibu yang sedang menarik berasnya untuk dibawa ke dalam dapur.
    "Buat apa lagi kalau bukan buat dibawa ke kondangan Yul." Jawab ibu diakhiri dengan menyebut namaku secara tidak lengkap karena namaku adalah "Yuli" bukan "Yul". Namun, entah kenapa orang-orang sangat suka memanggilku dengan Yul.
    Sangat tidak enak untuk didengar ketika mereka memanggil namaku dengan diawali kata "begitu" sebelum "Yul" sehingga menjadi "begitu Yul"☹️ dan hal itu adalah salah satu sebab kenapa aku selalu menegur orang-orang ketika memanggil namaku secara tidak benar.
    Ibu masih berdiri sambil menghitung jumlah beras yang beliau beli. Aku mulai merasakan sesuatu yang tidak enak akan segera terjadi dan hal itu benar-benar menjadi kenyataan ketika ibu bilang "besok dan seterusnya kalau kamu lagi ada waktu luang, kamu wakilin ibu pergi ke kondangan ya Yul karena ibu harus mengerjakan pekerjaan yang lain."
Modyarrrrrr
    Aku masih belum menjawab perkataan ibu dan ternyata ibu menganggap aku sudah menerima permintaannya. Sebenarnya, pergi ke kondangan adalah hal yang bisa saja aku lakukan dengan senang hati, akan tetapi yang tidak aku suka adalah ketika harus berdandan yang menurut aku sangat berlebihan sebelum berangkat ke kondangan.
    Beberapa kondangan berhasil aku datangi dengan lapang dada walaupun aku harus melawan jiwa rebahanku demi menjalankan perintah ibu eakkkkk. Beberapa hari yang lalu, aku kembali pergi ke kondangan bersama bibiku ke salah satu rumah kerabat jauh. Setibanya di sana, tidak semua orang aku kenal karena  aku memang sangat jarang berkunjung ke rumah itu kecuali hari raya. 
    Setelah aku duduk di salah satu sudut depan rumah milik tuan rumah acara tersebut, aku melihat seorang perempuan yang tidak asing di ingatanku. Selama beberapa menit, aku terus berusaha mengingat dimana aku pernah mengenal perempuan itu. Dia juga menatapku dan aku segera mengalihkan perhatian.
    "Kapan pulang dari Jogja Yul?" Tanya perempuan itu yang sampai saat ini belum ku ketahui namanya karena dia menyapaku tanpa sesi perkenalan terlebih dahulu.
     Setelah mengobrol cukup lama, aku baru bisa mengingat kalau perempuan itu ternyata adalah orang yang pernah mengaji di tempat yang sama denganku sekaligus orang yang selalu mengejekku karena kulitku yang hitam dan bajuku yang selalu Kotor disebabkan memanjat pohon buah kersen.
     Waktu kecil, kulitku memang hitam bahkan masih tetap sampai sekarang. Selain itu, mukaku juga sangat tidak enak dipandang karena aku sangat jarang memakai bedak ditambah dengan sifatku yang judes setiap melihat orang yang memandangku dengan tatapan aneh.
    Perempuan itu tetap duduk di sampingku sambil menggendong seorang anak perempuan yang ternyata adalah anaknya. Aku tertawa geli di dalam hati ketika ingat bagaimana dulu dia selalu mengejekku dan menjauhiku. Dia tetap melihatku yang sedang fokus bermain HP. Aku tidak heran kenapa memandangku dengan sangat lama karena waktu itu aku memakai bedak dan lipstik yang berbeda dari biasanya dan juga jilbab yang meniru gaya kekinian.
    Penampilanku waktu itu murni bukan keinginanku, akan tetapi karena bibi dan juga ibu yang selalu bilang kalau aku harus berdandan setiap akan pergi ke kondangan walaupun sebenarnya aku selalu menggaruk wajahku yang sangat aneh ketika dipolesi dengan bedak yang berlebihan. Namun, berkat semua itu, ternyata orang yang dulu mengejekku mulai menyapa tanpa ku sapa duluan.🤣




Tuesday, September 1, 2020

Cerita Malam di Surau Kami

     Salah satu kebiasaan yang paling nikmat setelah shalat Isya' adalah tidur di mushalla milik nenek moyangku (mushalla itu memang sudah didirikan sejak lama) yang terletak di depan rumah.  
    Aku tidur dengan memakai mukenah karena entah kenapa tidur dengan mukenah itu jauh lebih menghangatkan dari pada memakai selimut padahal katanya hal itu tidak baik. 
    Di suatu malam, aku kembali mengulangi kebiasaanku itu karena kebetulan tv ku sedang rusak sehingga aku lebih memilih untuk menemani ibu yang masih mengaji Al-Qur'an di mushalla dan tertidur. 
    Sebelum tidur, aku meminta tolong kepada ibu supaya membangunkanku setelah selesai mengaji karena aku ingin mengerjakan tugas yang belum sempat terselesaikan.
     Aku terbangun dari tidurku yang sangat nyenyak bukan karena dibangunkan oleh ibu, akan tetapi karena ternyata di sekelilingku sudah ada tetangga yang kebetulan sedang bermain ke rumah.
    "Aku juga heran, kenapa harga tembakau sekarang sangat murah?" ucap seorang bapak yang biasa aku panggil dengan paman Asip. 
     Sebenarnya, dia memang bukan pamanku, akan tetapi salah satu hal yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Madura adalah sopan santun sehingga tidak boleh memanggil seseorang yang lebih tua dari kita hanya dengan namanya saja.
    Saat ini, beberapa masyarakat pulau Madura memang sedang menanam tembakau atau lebih tepatnya sudah proses memanen. Orang-orang mulai sibuk menjual tembakau mereka dan hasil yang mereka dapat sangat jauh dari apa yang mereka ekspektasikan. 
   Keluargaku adalah petani sehingga aku sangat tahu bagaimana perjuangan mereka untuk menanam tembakau. Setiap selesai shalat Subuh, mereka sudah berangkat ke ladang atau sawah untuk menyiram tembakau. Mereka  rela melawan terik matahari hanya untuk memberi pupuk atau mencari ulat di pohon tembakau. 
    Uang hasil penjualan tembakau adalah harapan terbesar seorang petani. Lantas bagaimana jika harga tembakau saja sangat murah?
   Aku melihat muka paman Asip yang bercerita tentang tembakaunya yang terjual dengan harga satu juta enam ratus ribu. Aku sangat kaget mendengar cerita tersebut karena aku sangat tahu dengan kualitas tembakaunya yang ditanam tidak jauh dari rumahku. 
    Beberapa hari yang lalu, aku juga membaca berita dari HP ku tentang harga tembakau di tahun 2020 ini khususnya di pulau Madura. 
     Harga tembakau tahun ini turun sebanyak lima puluh persen dari biasanya sehingga bisa juga dikatakan kalau petani mengalami kerugian sebanyak itu juga.         Aku memang tidak begitu mendalami tentang kriteria tembakau yang murah dan mahal, akan tetapi aku juga merasa sakit hati setiap melihat petani yang harus mengalami kerugian yang banyak hanya karena tembakaunya terjual dengan harga murah.
   Sambil mengumpulkan kesadaranku yang belum sempurna karena baru bangun tidur, ada pertanyaan yang ternyata tiba-tiba muncul di dalam benakku.
  Kenapa harga tembakau selalu murah? Sedangkan penikmat rokok selalu meningkat
    Ya, pertanyaan itu yang sampai saat ini masih aku ingat dan belum ku temukan jawabannya. Semoga nanti tanpa menunggu waktu yang lama lagi, para petani bisa merdeka dan jerih payah mereka tidak sia-sia.
    Aku bangga terlahir dari keluarga yang berprofesi sebagai petani.

Sunday, August 30, 2020

Pengganti "Anjay"

    Seharian aku tidak membuka media sosial dan membaca berita online serta story teman-teman karena aku harus membantu melayani tamu di rumah sepupu yang baru saja berduka karena meninggalnya mertuanya. 
    Ketika semua urusan sudah selesai dan hanya tinggal bersih-bersih kamar sebentar, aku membuka HP dan mulailah aku tahu kalau sedang ada berita yang viral. Berita itu adalah berita tentang komnas PA yang menilai penggunaan kata anjay untuk bullying bisa berpotensi dipidana. 
   Sebagai orang yang sering menggunakan kata anjay ketika mengobrol santai bersama teman-teman, tentu aku mulai merasa heran kenapa kata anjay itu sampai dibawa ke ranah yang serius. 
    Setelah membaca beberapa artikel mulai dari berita online ataupun blog pribadi seseorang, ternyata aku sudah menemukan jawaban dari keherananku tadi. Jadi, ada seorang youtuber yang mengadu kepada komnas PA tentang kata anjay yang bisa merusak moral bangsa.        Selama kata anjay, anjir dan kata-kata yang lain mulai Viral, aku pribadi lebih sering menggunakan kata anjay ketika ingin bercanda dengan teman-teman karena selain mulutku memang masih belum terbiasa dengan kata cuk, anjir dan yang lainnya, aku juga merasa kata anjay adalah kata untuk misuh yang kesopanannya lebih tinggi dari yang lain.
    Seseorang pernah bercerita kepada aku bahwa kata-kata kasar bisa menjadikan kita lebih akrab dengan teman-teman karena pada faktanya mereka juga tidak menganggap kata-kata itu sebagai kata kasar bahkan ada sebagian yang menganggapnya sebagai panggilan akrab.      Selama aku menggunakan bahasa-bahasa itu (anjay, anjir dll), aku mulai belajar sesuatu kalau sebenarnya kata kasar akan menyinggung orang lain ketika lawan bicaranya adalah orang yang tidak begitu akrab dengan kita sehingga dapat aku katakan kalau semua bahasa itu bisa disesuaikan dengan konteksnya. 
   Lantas aku harus misuh dengan kata apa jika kata anjay itu saja dilarang?
   Apakah aku harus memakai kata anjing?
    Bukankah itu jauh lebih kasar dari pada anjay karena kata itu adalah nama asli dari hewan?
    Aku semakin menggelengkan kepala dan semakin tidak paham dengan semuanya. Beberapa minggu yang lalu aku juga membaca berita tentang seorang nelayan yang dihukum karena merobek uang. 
    Aku memang tidak membaca berita itu secara tuntas karena sangat bosan dengan kekonyolan orang-orang yang memiliki jabatan.
  Sekarang, aku kembali membaca berita yang euhhhh bikin hati terenyuh:(. 
    Bagaimana bisa wahai pemirsa???
    Sudahkah urusan yang lebih penting dari kata anjay terselesaikan? 
    Mungkin pertanyaan itu tidak akan ku temukan jawabannya, jadi sebaiknya aku mulai mencari kata pengganti anjay untuk ku jadikan sapaan akrab buat teman-teman.
    Suatu hari, ada seorang temanku yang bercerita kalau dia tidak kerasan tinggal di kampung halamannya sendiri karena dia sangat bosan dengan masyarakat yang hanya mendengarkan pendapat dari orang yang memiliki jabatan tinggi dan memakai dasi. Mungkin itu juga bisa menjadi alasan dari orang yang pergi ke luar negeri karena bosan dengan lucunya hukum di dalam negeri. 
    Sebenarnya, semua kemungkinan bisa terjadi mulai dari kemungkinan yang memang masuk akan bahkan sampai yang tidak bisa dijangkau oleh akal.

Friday, August 28, 2020

Benci Menjadi Cinta, Katanya.

    "Yul, kamu suka membaca sejak kecil ya?" tanya salah satu temanku atau lebih tepatnya teman baru karena kami baru saling berkenalan ketika secara tidak sengaja bertemu di warung kopi dekat kos. 
     Melamun adalah hal yang sangat jarang aku lakukan karena selain bingung mau melamunkan apa, aku juga mulai percaya omongan orang-orang kalau melamun bisa menyebabkan kerasukan setan (tidak tau itu benar atau hanya mitos). Akan tetapi, setelah mendengar pertanyaan temanku itu, aku melamun sangat lama sekalipun kami sedang ada di tengah keramaian warung kopi. 
      Aku jadi teringat kalau dulu aku memang tinggal di pesantren yang sangat hebat bahkan santrinya dilatih untuk mencintai buku dengan menerapkan peraturan peminjaman 5 buku (kalau tidak salah dengan genre fiksi dan juga ilmiah). Peraturan itu dijalankan setiap bulan yang dijalankan oleh pengurus perpustakaan.
Setiap sore di awal bulan, teman-teman santri mulai dari kelas Mts sampai pasca (santri yang sudah kuliah) memenuhi perpustakaan untuk meminjam buku.                Sebenarnya, aku tahu kalau ada sebagian dari mereka yang meminjam buku disebabkan takut mendapat denda karena bagi santri yang tidak meminjam buku sesuai dengan jumlah yang diberikan oleh pengurus perpustakaan, maka mereka akan mendapat hadiah yaitu mengaji satu jus wkwk.
      Awalnya, aku juga sangat rajin seperti mereka. Akan tetapi, hari demi hari setan di dalam tubuhku berhasil merayuku dan akhirnya aku selalu mencari cara supaya bebas dari perpustakaan😂. Setiap santri mempunyai kartu peminjaman buku masing-masing dan setiap akhir bulan kartu itu diambil oleh pengurus perpustakaan untuk dilihat apakah mereka sudah meminjam buku dengan lengkap atau tidak.
    Bagaimana dengan nasib kartuku?😂           mungkin orang-orang akan mengira kalau aku sudah berkali-kali mendapat hukuman karena sudah jarang meminjam buku. Akan tetapi, itu salah😂. Aku berhasil lolos dari pengurus perpustakaan karena setiap mereka meminta kartu peminjaman bukuku, aku selalu beracting seperti orang yang sedang kehilangan kartu itu sendiri sehingga mereka bilang        "Ya sudah. Nanti kalau kartunya sudah ketemu, segera bawa ke perpustakaan!" dan betapa nakalnya aku yang tidak pernah melakukan perintah itu.
     Salah satu alasanku tidak mau meminjam buku saat itu adalah karena aku benar-benar tidak suka membaca. Alasan itu mungkin masih bisa dilakukan dengan memaksa diri sendiri, akan tetapi lagi dan lagi, aku adalah santri yang pernah nakal pada masanya😂.
    Di awal kenakalanku itu, aku mengira akan selalu bebas dari yang namanya dunia perpustakaan, akan tetapi ternyata tidak. Tepat di tahun ke-2 sebelum aku berhenti dari pesantren untuk melanjutkan kuliah, aku dilantik menjadi pengurus perpustakaan.
    KOK BISA? 
     Aku pun juga tidak mengerti😂. Mungkin hal itu yang disebut dengan karma. Saat aku berdiri di depan seluruh santri bersama pengurus baru perpustakaan yang akan dilantik, pertama kali dalam hidup aku menyesali kenakalanku sendiri dan merasa ditampar oleh keadaan.
    Hari-hariku tidak seperti sebelumnya dimana aku selalu merasa anti dengan perpustakaan terutama ketika melihat teman-teman santri memenuhi perpustakaan, akan tetapi aku selalu menjadi penghuni setia perpustakaan. Semua itu aku lakukan bukan karena membaca buku, akan tetapi karena memanfaatkan kipas yang waktu itu hanya ada di perpus😂. 
     Ketika semua teman-teman pengurus berbicara buku, di situlah aku merasa sebagai orang yang bodohnya minta ampun. Aku tidak paham pembicaraan mereka sampai akhirnya aku taubat😂dan sedikit demi sedikit mulai membaca buku.      Kegemaranku membaca buku tidak bertahan lama karena disibukkan dengan UN, UAMBN dan N N yang lainnya (generasi yang masih merasakan bagaimana dag dig dug nya ati saat UN tiba) sampai akhirnya aku berhenti dari pesantren. 
    Walaupun dulu bahkan sampai sekarang aku tetap nakal, akan tetapi aku bersyukur karena ternyata kenakalanku itu membuatku sadar kalau aku masih sangat buta akan dunia literasi dan tidak ada alasan lagi untuk bermalas-malas an. 
      "Aku pengin anakku kelak tinggal di pesantren yang sama dan semoga dia mendapat peraturan yang sama denganku." Ucapku dalam hati setiap mengingat pesantren tempatku menimba ilmu dan mengajarkanku semua arti pengetahuan dan tatakrama. 
    "Pikiranmu terlalu kejauhan Yul sampai memikirkan anak segala." Ujar teman se haha hihi ku yang sudah biasa dengan omongannya yang bisa mengiris hati orang lain😂. 
    Pertama mengenal dia memang membuat aku marah dan kesal luar biasa karena waktu itu secara blak blak an dia mengomentari kamar kosku yang sangat berantakan, akan tetapi untuk omongannya di atas berhasil aku respon dengan baik sehingga dia berkata                    "Ternyata pikiranmu sudah kebal dengan ke blak blak anku ya Yul." Responnya sambil menyisir rambutnya yang gondrong dengan jari-jari tangannya.
     Kami tertawa lepas sambil menyeruput teh di warung kopi (karena kami memang sama-sama bukan penikmat kopi) sambil melihat kereta dan senja (gagal puitis😂).

Tuesday, August 25, 2020

Jurus Ampuh Seorang Pedagang

     Ada kebiasaan yang aku sangat rindukan ketika sedang tidak ada di rumah, yaitu mengantarkan emmak ke pasar. Setiap hari Selasa atau hari Jumat emmak memang rutin pergi ke pasar yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.
Walaupun rutin pergi ke pasar, emmak bukan merupakan seorang pedagang. Keperluan emmak hanya untuk membeli ikan atau menjual pisang. 
    Rumahku memang terletak di sebuah desa sehingga masih banyak masyarakat yang memanfaatkan pasar bukan hanya sebagai tempat membeli baju dan barang-barang lainnya, akan tetapi juga untuk menjual atau membeli pisang.
      Waktu aku masih kecil, ikut ke pasar di hari Jumat bersama emmak menjadi hal yang sangat aku suka. Singkat cerita, banyak hal yang aku temui ketika sedang di pasar, mulai dari orang yang kena jambret, macet, pedagang yang mengeluh karena dagangannya tidak laku sampai rayuan pedagang kepada pembeli supaya dagangannya bisa terjual dengan harga yang sudah mengalami proses tawar menawar. 
    "Ayo Ci (Singkatan dari Haji atau hajah dalam bahasa Madura) ke sini. Mau membeli apa?" tanya seorang perempuan yang tidak lain adalah seorang pedagang yang duduk di dekat barang jualannya dengan senyum rayuannya😂.
     "Emmak, kok dia memanggil emmak Acci (haji atau hajah dalam bahasa Madura)? Kan emmak belum naik haji." Tanyaku kepada emmak sambil menggerakkan tangannya yang sedang menggenggam  tanganku.
     "Sudah biarkan saja, malah kita harus berterima kasih kepada mereka karena siapa tau dengan panggilan mereka itu bisa membuat kita menemukan rezeki untuk segera naik haji." Jawab emmak tersenyum sambil melirik kepada pedagang yang memanggilnya dengan hajah ketika kami sudah pergi menjauh setelah membeli barang yang dijual oleh si pedagang menuju warung makanan langganan kami.
     Awalnya, aku lupa terhadap kejadian saat itu. Akan tetapi, aku kembali ingat hal itu karena beberapa hari yang lalu bertemu dengan si pedagang.
     "Mau beli apa ci (singkatan dari haji atau hajah dalam bahasa Madura)?" Tanya pedagang yang masih sama dengan tempat yang juga sama.
      Berbeda dengan waktu masih kecil, aku mulai mempertanyakan alasan dari si pedagang memanggil emmak dengan hajah kepada diriku sendiri. Aku menemukan jawaban dari pertanyaan itu dan tersenyum sendiri.
     Berdasarkan jawaban yang aku dapat dari pertanyaan yang aku buat sendiri, ada dua jawaban atau kemungkinan yang membuat si pedagang memanggil emmak dengan hajah.
     Alasan yang pertama ialah karena emmak yang selalu memakai gamis setiap pergi ke pasar sehingga terlihat seperti orang yang pernah naik haji atau mendalami ilmu keagamaan.
    Sedangkan alasan yang kedua ialah karena ada niat untuk menjadikan panggilan itu sebagai rayuan supaya emmak mau membeli dagangan perempuan itu😂. 
     Dari dua alasan itu, alasan nomor terakhir lah yang membuat aku sering tersenyum ketika mengingat wajah si pedagang. Dari  pedagang itu, aku belajar kalau cara mempromosikan sesuatu itu ternyata tidak hanya dengan panggilan panggilan gombal, akan tetapi juga dengan panggilan yang bisa menjadi doa, seperti panggilan hajah buat orang yang belum naik haji misalnya😂.
     Di samping itu, aku mulai berharap supaya ada pedagang atau orang-orang yang memanggilku dengan dokter supaya cita-citaku bisa tercapai berkat perkataan mereka yang seperti orang-orang katakan bahwa setiap perkataan adalah doa.

Sunday, August 23, 2020

Menentukan Peta Hidup

    Ada satu lingkungan yang dulu selalu membuatku merasa nyaman dan sekarang seperti membuatku tidak pernah merasa aman. Sebenarnya, aku terlalu malas untuk membahas pertanyaan yang ditanyakan orang-orang, akan tetapi itu semua selalu memaksa untuk menetap di dalam otakku.
   Hidupku selama dua puluh tahun memang tidak hanya di satu tempat. Ketika aku datang atau pulang dari satu tempat ke tempat yang lain, selalu ada orang yang dengan santainya bertanya apakah aku sudah memiliki pasangan atau tidak.
    Well, sebenarnya aku merasa fine dengan pertanyaan mereka, toh tidak jarang manusia  selalu dirasuki rasa kepo yang tidak mengetahui batas. Semakin hari semakin banyak saja orang-orang yang rasanya ingin membuatku jatuh dan tidak bersemangat walaupun hanya lewat ucapan.
    "Umur dua puluh tahun kok belum memiliki pasangan?"
     Ya, pertanyaan itu sama persis dengan apa yang mereka tanyakan. Aku masih sangat heran dengan orang- orang yang membuat standar terhadap kehidupan dan kesuksesan orang lain dan melupakan standar hidupnya sendiri.
    Apa semua orang terutama perempuan harus selalu mengikuti alur hidup seperti yang orang lain katakan? Menurut mereka, seorang perempuan yang sudah menginjak umur dewasa memang sangat dianjurkan untuk memiliki pasangan dan bla bla bla.
    Memangnya hidup di dunia harus selalu mengikuti kebiasaan orang lain? Aku mulai merasa kesal ketika seseorang hanya mengagung-agungkan orang yang sudah sesuai dengan kepercayaan mereka dimana tugasnya hanya sekolah, tunangan dan menikah.
    Lantas bagaimana jika mereka ingin menjadi perempuan karier?
Sekolah ataupun kuliah itu adalah perjalanan yang mengandung banyak proses dan begitu pun dengan tunangan atau menikah. Hanya saja, banyak orang-orang yang melompati salah satu proses mereka hanya karena mengikuti standar hidup yang diberikan orang lain.
     Pembahasanku tentang hal ini bukan berarti aku tidak pernah atau sedang jatuh cinta dan memiliki pikiran tentang masa depan? Aku sudah memikirkan itu semua, akan tetapi target-target yang aku buat sedikit berbeda dengan standar yang diberikan orang lain.
    So, please stop asking my planning for my future especially for my private relationship because it's mine and not yours.

Thursday, August 20, 2020

Serba-Serbi Perjalanan

      "Jangan mau barang-barangmu diangkut oleh orang lain kalau sudah sampai di terminal Surabaya karena mereka hanya mengharap bayaran dari kamu!" Kata sepupuku yang kuliah di Surabaya pada suatu hari saat sedang sama-sama ada di rumah. 
      Ketika aku mau pulang ataupun berangkat ke Jogja, aku selalu memilih untuk naik bis karena selain murah, juga lebih simple dari pada harus naik kereta.          Berbeda dengan orang-orang yang pergi ke jakarta yang bisa naik bis tanpa transit di terminal lain. Ketika mau pulang ke madura atau berangkat ke Jogja, aku harus transit terlebih dahulu di terminal Bungurasih.
     Selama dua tahun merantau di Jogja, aku sudah terbiasa pulang atau berangkat ke Jogja sendirian walaupun masih ada perasaan takut dicopet di dalam bis. 
Satu bulan yang lalu, aku kembali ke Jogja di tengah-tengah pandemi karena ada acara. 
     Ibu selalu menasihatiku untuk pulang secepatnya karena takut dengan isu-isu covid-19 yang mulai menyebar kembali.
Karena semua urusan sudah selesai dan ibu juga sudah sering menelfonku, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke Madura. 
      Kampusku sudah memperpanjang kuliah online karena keadaan yang masih diserang oleh covid-19 sehingga tidak ada alasan lagi buat aku untuk tidak pulang. Seperti biasa, ibu sangat antusias saat mendengar kalau aku akan pulang dan uang ongkos pun sudah dikirim. 
      Aku hanya meminta 150K untuk uang kos karena biasanya itu sudah sangat cukup buat ongkos bis kelas ekonomi dari Jogja ke Madura. Semua barang-barang sudah selesai aku masukkan ke dalam koper termasuk buku yang akan aku butuhkan ketika kuliah online sudah dimulai. 
      Kepulanganku itu lebih terniat dari pada kepulangan yang sebelumnya. Karena aku tidak suka perjalanan di siang hari, akhirnya aku berangkat setelah Isya' ke terminal Giwangan diantar oleh temanku.
     Setelah sampai di terminal Giwangan, aku mulai khawatir karena suasana terminal sangat sepi dan hanya ada bis kelas atas (tidak mau menyebut merk wkwk) yang tidak biasa aku tumpangi karena ongkosnya yang mahal. 
      Mukaku mulai pucat dan membayangkan kalau ternyata aku harus menunda kepulangan hanya karena tidak ada bis. 
       Dengan perasaan yang sudah mulai pasrah, aku bilang kepada temanku kalau aku memilih untuk ikut bis yang kelas itu walaupun sebenarnya uangku sangat kurang, akan tetapi masih ada sisa saldo di atm yang mungkin bisa aku pakai untuk ongkos dari surabaya ke Madura.
     Temanku paham tentang apa yang ada di dalam pikiranku. Dia tetap mencari bis kelas ekonomi dan saat itu keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Ada bis kelas ekonomi jurusan Surabaya yang akhirnya mau berangkat. 
     Kalau ditanya perasaanku saat melihat bis itu, maka jawabannya adalah seperti sedang bertemu dengan doi (padahal nggak punya wkwk) yang dipenuhi dengan bunga-bunga bertebaran di dalam hati (apaan sih garing 😂).
      Aku duduk di kursi bagian tengah dekat dengan jendela. Melihat orang-orang yang ada di dalam bis itu membuat aku seperti sedang bertemu dengan preman. Bagaimana tidak, semua orang memakai masker berwarna hitam dan kacamata serta sarung tangan. 
      Aku hanya berusaha untuk tidak takut dan memeluk tasku supaya tidak terkena jambret😂. Selama di dalam bis, perutku sangat lapar. Aku memakan jajan dan roti yang diberikan oleh sahabatku sebelum berangkat ke terminal Giwangan (thank you calon kajur).
      Tepat saat azan Subuh berkumandang, aku tiba di terminal Bungurasih, Surabaya. Mukaku sudah lusuh dan perutku mulai tidak karuan serta ingin muntah. 
     Dengan kesadaranku yang baru terkumpul dengan total, aku turun dari bis bersama tas yang aku gendong dan menarik koper menuju bis jurusan Madura.
"Mau kemana dek?"
"Mau naik ojek dek?"
     Suara bapak-bapak di pintu terminal Bungurasih mulai terdengar. Aku hanya tersenyum dan menggeleng untuk menolak tawaran bapak-bapak jasa angkut dan bapak gojek itu. 
     Uangku masih tersisa delapan puluh ribu karena ongkos dari Jogja -surabaya naik menjadi 70K. Aku menghela nafas ketika sampai di ruang tunggu bis sambil bersyukur karena uangku masih cukup untuk ongkos ke Madura. 
     Ketika sudah minum dan menghilangkan penat karena duduk di bis, tiba-tiba ada seorang bapak menghampiriku dan menanyakan jurusan bis yang ingin aku tumpangi.
Mendengar kata "Sumenep" yang merupakan kabupaten paling ujung di pulau Madura, bapak itu mengambil koperku dan menyuruhku untuk mengikutinya. 
      Aku hanya mengikuti apa yang diperintahkan bapak itu karena aku pikir kalau bapak itu adalah kernit bis tujuan Madura.
     Koperku sudah dimasukkan ke dalam bagasi bis dan bapak itu kembali menghampiriku yang masih sibuk dengan HP untuk mengabari ibu di rumah. 
"Uang ongkosnya dua puluh ribu dek." Ucap bapak itu dengan tangannya di depan mukaku.
"Asemmm, ternyata bapak itu jasa angkut toh. Tahu gitu, mending aku bawa koperku sendiri." Omelku di dalam hati sambil memberikan uang dua puluh ribu supaya bapak itu cepat pergi.
     Sebenarnya aku ikhlas memberikan uang  kepada bapak yang aku kira sebagai kernit bis, akan tetapi aku mulai khawatir kalau uangku tidak cukup buat ongkos ke Madura.
      Dengan perasaan dag dig dug, aku duduk di dalam bis dan memegang uang enam puluh ribu. 
"Berapa mas ongkosnya?" Tanyaku kepada kernit asli bis itu.
"Enam puluh ribu mbak." Jawab mas nya dan berhasil membuat aku menghela nafas lega. 
      Ketika sampai di rumah, aku tersenyum geli mengingat kenekatanku yang hanya membawa uang ongkos pas.

Sunday, August 16, 2020

Hak Istimewa Sepeda yang Sering Diabaikan

Selama dua hari berturut-turut, aku menginap di rumah temanku yang jaraknya lumayan jauh dari kos. Bukan tanpa alasan aku menginap di rumah temanku yang bernama Lia, akan tetapi karena diminta oleh orang tuanya Lia yang akan berangkat ke Jawa Barat selama dua hari. Hari kedua di rumah Lia, aku mengajaknya untuk pulang ke kos karena aku harus mencuci pakaian yang sudah menumpuk. "Siapa yang mau menyetir?" tanya Lia menatap aku yang masih sibuk dengan HP. Sebenarnya, motor yang kami pakai adalah motor si Lia, tapi karena aku sering mengeluh sakit perut setiap dia yang menyetir karena tidak pernah pelan-pelan setiap ada polisi tidur, akhirnya si Lia selalu menyuruhku untuk menyetir motornya. Selama di perjalanan, aku selalu bertanya arah jalan karena kebetulan walaupun sudah berkali-kali aku main ke rumahnya, otakku tetap tidak bisa menghafal rute jalan. Entah kenapa, ketika aku pergi ke suatu tempat dan belum tau atau hafal rute jalannya, maka perjalanan itu akan terasa lebih jauh dari biasanya dan hal itulah yang aku rasakan saat itu. Kalau kalian bertanya, lebih sulit mana antara menghafal rute jalan kota dan menghafal rumus mata pelajaran, maka jawabanku adalah menghafal rute jalan kota. Hal itu sudah terbuktikan dengan pengalamanku yang dua puluh tahun menjadi warga Sumenep, akan tetapi sering tersesat ketika ada di Sumenep kota. Selain itu, dua tahun di Jogja pun tidak membuat aku berhasil hafal jalan pulang dari Malioboro ke kos😭. Ketika kami harus berhenti karena lampu merah dan kebetulan posisi motor kami ada di baris paling depan, aku melihat tulisan "ruang tunggu khusus sepeda" di aspal jalan. Aku hanya tersenyum melihat tulisan itu sambil berpikir kalau tulisan itu lebih sering diabaikan oleh para pengendara motor dan mobil. Sebenarnya aku tahu kalau tujuan mereka (petugas) memberi ruang tunggu seperti itu khusus sepeda dekat lampu merah mungkin karena jalannya sepeda yang pelan dan bisa terjebak lampu merah dua kali apabila ada di belakang. Sebagai mahasiswa yang hanya masih mempunyai sepeda ontel, aku benar-benar merasakan bagaimana saat aku harus mengayuh sepeda dengan cepat dengan cepat supaya tidak terjebak oleh lampu merah lebih-lebih di siang hari dan baru pulang dari kampus atau tempat kerja. Akan tetapi, sayang sekali takdir sering tidak berpihak denganku wkwkw. Aku selalu harus menunggu lampu merah berganti lampu hijau bersama motor dan mobil mewah yang lain bahoan sering ada di baris paling belakang sehingga "ruang tunggu khusus sepeda" tidak lagi berlaku. Suara klakson motor dan mobil di belakang kami sangat berisik. Aku tahu jalau mereka membunyikan klakson karena menegur kami yang tidak maju dan menunggu lampu merah di jalan yang ada tulisan " ruang tunggu khusus sepeda". Aku hanya tertawa di balik masker yang aku pakai. Sebenarnya, ada dua alasan kenapa aku melakukan itu semua. Alasan yang pertama adalah karena aku ingin menerapkan patuh terhadap peraturan yang ada di jalan yang salah satunya adalah tidak menunggu lampu merah di atas "ruang tunggu khusus sepeda" karena aku naik motor. Alasan kedua adalah tidak lain hanya karena jiwa usilku yang kumat😂. "Bodo amat. Toh aku juga tidak kenal mereka." Responku sambil tertawa ketika Lia menegurku karena keusilan yang aku lakukan sambil menancap gas motor meninggalkan orang-orang yang mungkin masih merasa kesal terhadap aku wkwkw.

Friday, August 14, 2020

Jangan Jadikan Pernikahan Sebagai Pelarian

Tanpa terasa, sudah dua tahun aku di Jogja dan artinya kurang dua tahun lagi untuk menyelesaikan S1 (semoga bisa lebih cepat dan diberikan kelancaran aamiin) dan melanjutkan S2 (aamiin). Waktu dua tahun ini benar-benar berjalan dengan cepat padahal rasanya baru kemarin aku diantar keluargaku ke Jogja dan tiba di kampus jam dua pagi (unforgettable moment). Saat masih MA, aku pernah berkhayal untuk kuliah di luar Madura dan mempunyai teman kampus yang mengajak aku main ke rumahnya sehingga aku juga bisa merasakan suasana desa di tempatku merantau. Beberapa bulan yang lalu, khayalanku itu menjadi kenyataan saat seorang temanku (perempuan) mengajak aku main ke rumahnya. Lokasi rumahnya tidak terlalu jauh dari Jogja kota. Selama di perjalanan, aku tidak berhenti berfikir tentang hal apa yang akan aku katakan kepada orang tua temanku untuk menyapanya. Awalnya, aku memang sedikit canggung karena aku takut salah ngomong. Akan tetapi, setelah berjam-jam di sana, ternyata aku mulai akrab dengan orang tuanya temanku itu. "Nak Yuli orang Jogja juga?" tanya ibu temanku. Nah, selain mukaku yang pasaran, juga banyak orang-orang yang tidak tau kalau aku adalah orang Madura. Mungkin hal itu disebabkan karena logatku yang sering ku buat medok (biar ala-ala orang Jawa). Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ketika aku sedang bertamu, hal yang menjadi kebiasaanku adalah menjadi orang kalem dadakan ( padahal aslinya masyaAllah tidak kalem sekali wkwk) dan itu berbeda dengan ketika aku sedang berada di kos😂. Obrolan demi obrolan semakin menarik selama aku ada di rumah temanku. Sang ibu bercerita bagaimana perjuangannya beliau bersama suaminya membangun usaha supaya bisa bertahan hidup dan membiayai temanku yang waktu itu masih umur empat tahun sampai harus pindah tempat tinggal berkali-kali. Mendengar cerita beliau membuat aku kagum luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan kalau ternyata kehidupan rumah tangga terutama tentang hal finansial memang bukanlah urusan yang sepele. "Alhamdulillah Yul, sekarang ibuk sudah bisa membiayai anak-anak untuk melanjutkan sekolah dengan lancar. Akan tetapi, di balik lancarnya rezeki ibuk, ternyata si A (temanku yang tidak lain adalah anak beliau) lebih memilih untuk berhenti kuliah dan mau menikah." Lanjut sang ibuk dengan mukanya yang berubah menjadi sendu. Mendengar ucapan ibu temanku itu membuat aku kaget luar biasa. Sebenarnya aku kaget bukan karena mendengar kata "berhenti kuliah" karena itu sudah hal yang biasa aku dengar. Akan tetapi, aku kaget disebabkan mendengar kata "menikah", hal yang akhir-akhir ini sedang viral wkwkw. Awalnya, aku mengira temanku itu sangat beruntung lahir dari keluarga yang finansialnya termasuk dalam kategori elit, tapi ternyata di balik semua itu ada keberuntungan yang tidak dia punya, yaitu kesadaran akan memperjuangkan pendidikan. Setelah mengatur ekspresiku yang masih kaget luar biasa, aku sedikit merenung memikirkan tentang betapa beruntungnya aku diberikan semangat oleh tuhan untuk selalu belajar dan juga lahir dari ibu yang selalu menyemangati aku untuk kuliah dan mengejar cita-cita. Sebelum aku datang ke rumah temanku, aku memang sempat berdiskusi dengan teman-teman perempuan yang lain tentang masa depan yang di dalamnya juga ada pembahasan tentang "pernikahan". Otakku belum bisa menjangkau hal itu sehingga aku sangat kaget mendengar temanku yang selama ini aku lihat sebagai perempuan yang mentalnya masih lemah dan membutuhkan dorongan orang lain tiba-tiba ingin menikah hanya karena tidak kuat kuliah. Rasanya tugas kuliah memang berat, tapi akan menjadi mudah ketika dijalani dan bukan cuma dipikirkan. Setelah aku tiba di kosku kembali, aku menghubungi ibuku dan mengucapkan terimakasih untuk semua jasa beliau. Terkadang, di dunia ini memang sesuatu itu terjadi secara selang seling. Ada yang anaknya semangat kuliah, akan tetapi orang tuanya tidak begitupun dan ada juga yang sebaliknya. Selain itu, ada juga yang dua sisi baik anak maupun orang tuanya sama-sama mendukung untuk melanjutkan sekolah. Semoga kita semua selalu diberikan kecintaan dalam menuntut ilmu aamiin.♡.

Monday, August 10, 2020

Pentingnya Self Improvement

Hal ini mungkin masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dipercaya. Beberapa minggu terakhir ini, aku selalu lebih suka untuk memikirkan hal-hal yang berbau masa depan. Mungkin kesannya memang lebay, but diakui tidaknya semakin bertambah hari, semakin pula hidup itu harus lebih serius. Dari bagian pemikiranku, self improvement/development adalah yang sering aku renungkan. What is self improvement? Menurut aku pribadi self improvement adalah sebuah usaha pengembangan diri. Menjadi seorang mahasiswa yang ternyata sudah menginjak semester tua memang benar-benar dituntut untuk selalu melakukan hal-hal yang bisa mengembangkan dirinya sendiri. Awalnya, aku memang berfikir kalau self improvement itu akan berjalan sesuai dengan kegiatanku sehari-hari. Akan tetapi, aku salah. Self improvement adalah salah satu hal yang harus direncanakan dan diperjuangkan. Ketika lingkungan kita hanya dikelilingi oleh orang-orang yang "haha hihi" (istilah yang aku buat sendiri buat orang yang kerjaannya cuma main), maka kita juga perlu untuk membuat benteng khusus diri kita sendiri. Main boleh, akan tetapi kita juga harus mengetahui batasan dan tetap menjaga proses supaya bisa meraih tujuan yang salah satunya adalah self improvement. Setiap orang mempunyai cara yang berbeda-beda. Ada yang dengan cara travelling, writing or reading. Aku pribadi juga mempunyai caraku sendiri. Setiap hari, aku harus bergelut dengan ego dan keinginan yang muncul dalam diriku untuk tidak selalu membuang-buat waktu. Aku juga sangat dan sangat ingin berterima kasih kepada tuhan karena dikelilingi oleh teman-teman yang membuat aku sadar kalau aku tetap harus melakukan pengembangan diri. Apa sejak awal aku sudah dikelilingi oleh teman-temanku itu? Jawabannya adalah tidak. Ada proses panjang yang harus kita lalui sampai akhirnya kita merasa cocok dan nyambung saat berbicara. Ketika kita berkumpul dengan teman-teman yang mempunyai target hidup yang jelas dan usahanya juga tidak nanggung-nanggung, maka tanpa kita sadari, kita juga ingin melakukan hal yang sama. Semakin tinggi target dan usahamu, semakin bagus juga kualitasmu. Selain itu, menjadi orang yang terbuka untuk menerima kritikan dan saran dari orang lain juga merupakan salah satu cara dari self improvement. Awalnya, aku adalah tipe orang yang gampang kesal setiap orang memberikan kritikan terhadap diri aku sendiri. Aku selalu bilang "it's my own business" sehingga aku selalu mengabaikan kritikan mereka. Padahal setelah aku sadar, aku sangat rugi pernah menjadi orang yang seperti itu. Seandainya dulu aku mendengarkan kritikan mereka, maka pasti di hari ini dan kedepannya aku bisa memperbaiki hal-hal yang kurang baik atau salah dari diriku sendiri. Belajar dari pengalaman itu, akhirnya setiap aku bercerita dengan teman-teman seputar kehidupan yang masyaAllah semakin hari semakin keras ini, aku selalu meminta kritikan mereka terhadap aku. Dari kritikan-kritikan itulah aku mulai mengembangkan hal-hal baru. Contoh kecilnya saja adalah saat temanku memberikan kritikan tentang aku yang selalu menjadi "manusia kamar". Sebelum akhirnya aku sadar, aku selalu membela diriku sendiri dengan alasan "karena aku punya cara pribadi untuk bersosialisasi dan mencari relasi". Padahal, sepintar-pintarnya orang juga masih butuh untuk selalu keluar kamar dan bergabung dengan orang-orang supaya tidak selalu merasa kalau prosesnya sudah baik. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dan mengobrol bersama pak Edi, owner basa-basi dan juga diva press di kafe barunya beliau. Obrolan itu lebih mengarah terhadap literasi. "Jangan selalu menjadi manusia kamar supaya tidak selalu merasa kalau tulisanmu sudah baik!" Dawuh beliau saat itu. Seratus persen aku sangat setuju dengan apa yang beliau nasihatkan. Ketika kita hanya menulis dan hanya menjadi manusia kamar, maka tidak akan jarang kita merasa kalau tulisan kita itu sudah baik. Padahal beribu-ribu orang penulis di luar sana yang ketika kita menemui dan membaca karyanya, maka di situlah kita bisa sadar kalau tulisan kita masih jauh dari kata bagus. Self improvement memang sangat penting karena once again, hidup itu harua serius!

Wednesday, August 5, 2020

Perempuan dan Hujatan

Banyak sekali kejadian/kabar yang aku terima selama minggu ini. Mulai dari kejadian yang menyenangkan, menyebalkan atau kedua-duanya. Dari beberapa kejadian/kabar itu semua, kabar pernikahan teman akulah yang paling sering aku terima. Hampir setiap haru aku menerima undangan yang dikirimkan lewat chat, akan tetapi apalah dayaku yang sedang jauh dari kampung halaman. Aku ikut berbahagia setiap mendapatkan undangan pernikahan temanku itu karena berarti sebentar lagi mereka sudah akan resmu menjadi seorang istri atau suami. Tanpa aku sadari, semakin banyak temanku yang tunangan atau menikah, semakin banyak pula hujatan yang aku terima😂. Hahaha, sudah bukan rahasia umum lagi kalau masih banyak orang-orang yang beranggapan kalau seorang perempuan yang sudah berumur dua puluh ke atas belum tunangan atau menikah, maka mereka termasuk golongan perempuan yang tidak laku. "Untuk apa kuliah? Toh nanti juga pasti jadi ibu rumah tangga." Ucap seseorang yang aku dengar saat keberangkatanku pertama kali ke rantauan. Terkadang, ada perasaan kesal yang ingin aku keluarkan, tapi semakin ke sini aku semakin sadar kalau meladeni hujatan mereka itu sama saja berbicara dengan batu. Aku belum bisa memaklumi saat ada orang yang menghujat perempuan-perempuan yang belum menikah. Dengan sangat jujur, aku bingung alasan mereka yang ingin cepat-cepat melihat tetangganya menikah. Apa itu karena mereka ingin menghadiri pesta pernikahan dan makan enak? Wkwkwkw Tunangan atau menikah itu tidak mudah setelah aku mendengar cerita teman-teman yang sudah ada di posisi itu. Mereka harus terikat dengan peraturan yang lebih luas, keberagaman yang lebih banyak dari sebelumnya dll. Akan tetapi, buat kalian yang sudah siap😂ya monggo. Toh itu hak semua orang☺. Sebenarnya apa sih inti dari tulisan ini? Wkwja Inti dari tulisan ini yang sebenarnya adalah jangan gampang menyebut orang tidak laku. Mereka mempunyai alasan tersendiri kenapa mereka tidak mau segera tunangan atau menikah. Mungkin diantara pembaca ada yang sudah tunangan atau menikah. Aku kagum sama kalian karena kalian sudah benar-benar berani untuk melangkah menuju kehidupan yang jauh lebih serius. Sedangkan buat pembaca yang Jombs wkwkwkw, kalian bisa berjalan dengan keputusan kalian masing-masing. Jika alasan kalian jombz adalah untuk meraih cita-cita, monggo! Silahkan kalian terbang dan terus semangat dalam berjuang. Kebahagiaan tidak hanya tentang pasangan. Apa tulisan ini hanya sebagai bentuk pembelaan penulis yang jombs? Wkwkw Oh tidak, sama sekali tidak benar. Tulisan ini murni muncul karena ide yang ada di dalam pikiran dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan pribadi penulis wkwkwwk.

Monday, July 27, 2020

Tidak Selamanya Kos an Hanya Untuk Rebahan

Tidak selamanya diam di kos an itu kerjaannya hanya rebahan. Awalnya, aku sama sekali tidak ada ide untuk menulis tentang ini sebelum akhirnya beberapa jam yang lalu aku bertemu dengan temanku saat aku keluar kos untuk membeli bahan buat memasak di warung terdekat. "Tumben keluar kamar? Biasanya juga cuma rebahan di kos." Kata dia saat melihat kedatanganku di warung yang sama tanpa menyapaku terlebih dahulu. Aku hanya membalasnya dengan senyuman karena saat itu moodku sedang tidak bagus untuk menceramahi orang walaupun sebenarnya aku juga bingung kenapa dia yang merasa risih hanya karena aku yang jarang keluar. Selain itu, aku juga yakin kalau dia hanya menebak aktifitasku yang katanya "hanya rebahan", padahal dia juga tidak tau apa yang sebenarnya aku lakukan selama di kos karena dia adalah cowok yang tentunya tidak pernah dan tidak boleh masuk ke dalam kosku. Aku sudah tidak heran lagi kalau orang-orang hanya menganggap orang lain yang cuma tinggal di kos an dan jarang kumpul itu kerjaannya hanyalah rebahan. Akan tetapi, aku, kamu dan kita semua juga harus mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain yang menjadi sebab mereka hanya diam di kos an. Siapa yang tau kalau ternyata orang yang diam di kos an itu ternyata jauh lebih produktif dari mereka yang kerjaannya cuma jalan-jalan tidak jelas? Siapa yang tau kalau orang yang diam di kos an itu karena kerjaan atau cara untuk mengembangkan skill mereka bisa dilakukan tanpa harus keluar kos? Setelah aku sampai di kos, otakku masih memikirkan ucapan atau lebih tepatnya pertanyaan temanku itu. Aku mulai berpikir, apakah aku termasuk orang yang ansos, introvert atau pemalu? "Kamu itu tidak ansos karena buktinya kamu mempunya banyak teman." Jawab temanku saat aku tanya apakah aku termasuk orang yang ansos dan sebangsanya. Dari semua jawaban teman-teman yang aku tanya, ternyata mereka belum benar-benar tahu kalau dibalik aku yang kadang bisa kumpul sama orang, ada aku yang harus menahan perasaan takut, insecure, gemetar, dan tidak suka ngomong. Membaca buku, menulis, menonton Youtube dan memasak adalah kerjaan yang lebih dan paling aku suka dibandingkan dengan kumpul bersama orang banyak. Walaupun begitu, aku juga terkadang menerima ajakan teman-teman untuk ngopi yang menurut aku nyaman dan TIDAK PERNAH MERENDAHKAN orang lain. Beberapa hari yang lalu, aku melihat pamflet acara di akun instagram kafe basa-basi. Setelah aku baca isi pamfletnya, ternyata ada acara yang akan dihadiri oleh dua tokoh yang menjadi panutanku. Beliau-beliau adalah Pak Edi Ah Iyubenu, penulis yang dengan salah satu bukunya yang berjudul "ibu sedang apa" berhasil membuat aku menangis setiap membacanya. Mungkin aku terkesan lebay, tapi karena kelebayanku itu, aku mulai menyadari satu hal dan akhirnya aku mau untuk mulai berlari. Tokoh yang kedua adalah K.M.Faizi, penyair sekaligus pengasuh pesantren Annuqayah tempatku dulu menimba ilmu. Tanpa berpikir panjang, aku mengajak temanku untuk menghadiri acara itu. Setelah sampai di sana, aku benar-benar menikmati acaranya. "Ternyata kamu itu mau keluar kos kalau tujuannya jelas dan sesuai dengan goalsmu ya Yul." Ucap temanku sedikit berbisik karena takut terdengar oleh orang lain (mungkin) Statement temanku itu adalah statement yang sempurna menjadi jawaban kenapa aku hanya keluar kos di saat-saat tertentu. Hidup di dunia itu memang harus jelas, termasuk jelas apa yang akan kita lakukan ketika pergi ke suatu tempat.