"Jangan mau barang-barangmu diangkut oleh orang lain kalau sudah sampai di terminal Surabaya karena mereka hanya mengharap bayaran dari kamu!" Kata sepupuku yang kuliah di Surabaya pada suatu hari saat sedang sama-sama ada di rumah.
Ketika aku mau pulang ataupun berangkat ke Jogja, aku selalu memilih untuk naik bis karena selain murah, juga lebih simple dari pada harus naik kereta. Berbeda dengan orang-orang yang pergi ke jakarta yang bisa naik bis tanpa transit di terminal lain. Ketika mau pulang ke madura atau berangkat ke Jogja, aku harus transit terlebih dahulu di terminal Bungurasih.
Selama dua tahun merantau di Jogja, aku sudah terbiasa pulang atau berangkat ke Jogja sendirian walaupun masih ada perasaan takut dicopet di dalam bis.
Satu bulan yang lalu, aku kembali ke Jogja di tengah-tengah pandemi karena ada acara.
Ibu selalu menasihatiku untuk pulang secepatnya karena takut dengan isu-isu covid-19 yang mulai menyebar kembali.
Karena semua urusan sudah selesai dan ibu juga sudah sering menelfonku, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke Madura.
Kampusku sudah memperpanjang kuliah online karena keadaan yang masih diserang oleh covid-19 sehingga tidak ada alasan lagi buat aku untuk tidak pulang. Seperti biasa, ibu sangat antusias saat mendengar kalau aku akan pulang dan uang ongkos pun sudah dikirim.
Aku hanya meminta 150K untuk uang kos karena biasanya itu sudah sangat cukup buat ongkos bis kelas ekonomi dari Jogja ke Madura. Semua barang-barang sudah selesai aku masukkan ke dalam koper termasuk buku yang akan aku butuhkan ketika kuliah online sudah dimulai.
Kepulanganku itu lebih terniat dari pada kepulangan yang sebelumnya. Karena aku tidak suka perjalanan di siang hari, akhirnya aku berangkat setelah Isya' ke terminal Giwangan diantar oleh temanku.
Setelah sampai di terminal Giwangan, aku mulai khawatir karena suasana terminal sangat sepi dan hanya ada bis kelas atas (tidak mau menyebut merk wkwk) yang tidak biasa aku tumpangi karena ongkosnya yang mahal.
Mukaku mulai pucat dan membayangkan kalau ternyata aku harus menunda kepulangan hanya karena tidak ada bis.
Dengan perasaan yang sudah mulai pasrah, aku bilang kepada temanku kalau aku memilih untuk ikut bis yang kelas itu walaupun sebenarnya uangku sangat kurang, akan tetapi masih ada sisa saldo di atm yang mungkin bisa aku pakai untuk ongkos dari surabaya ke Madura.
Temanku paham tentang apa yang ada di dalam pikiranku. Dia tetap mencari bis kelas ekonomi dan saat itu keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Ada bis kelas ekonomi jurusan Surabaya yang akhirnya mau berangkat.
Kalau ditanya perasaanku saat melihat bis itu, maka jawabannya adalah seperti sedang bertemu dengan doi (padahal nggak punya wkwk) yang dipenuhi dengan bunga-bunga bertebaran di dalam hati (apaan sih garing 😂).
Aku duduk di kursi bagian tengah dekat dengan jendela. Melihat orang-orang yang ada di dalam bis itu membuat aku seperti sedang bertemu dengan preman. Bagaimana tidak, semua orang memakai masker berwarna hitam dan kacamata serta sarung tangan.
Aku hanya berusaha untuk tidak takut dan memeluk tasku supaya tidak terkena jambret😂. Selama di dalam bis, perutku sangat lapar. Aku memakan jajan dan roti yang diberikan oleh sahabatku sebelum berangkat ke terminal Giwangan (thank you calon kajur).
Tepat saat azan Subuh berkumandang, aku tiba di terminal Bungurasih, Surabaya. Mukaku sudah lusuh dan perutku mulai tidak karuan serta ingin muntah.
Dengan kesadaranku yang baru terkumpul dengan total, aku turun dari bis bersama tas yang aku gendong dan menarik koper menuju bis jurusan Madura.
"Mau kemana dek?"
"Mau naik ojek dek?"
Suara bapak-bapak di pintu terminal Bungurasih mulai terdengar. Aku hanya tersenyum dan menggeleng untuk menolak tawaran bapak-bapak jasa angkut dan bapak gojek itu.
Uangku masih tersisa delapan puluh ribu karena ongkos dari Jogja -surabaya naik menjadi 70K. Aku menghela nafas ketika sampai di ruang tunggu bis sambil bersyukur karena uangku masih cukup untuk ongkos ke Madura.
Ketika sudah minum dan menghilangkan penat karena duduk di bis, tiba-tiba ada seorang bapak menghampiriku dan menanyakan jurusan bis yang ingin aku tumpangi.
Mendengar kata "Sumenep" yang merupakan kabupaten paling ujung di pulau Madura, bapak itu mengambil koperku dan menyuruhku untuk mengikutinya.
Aku hanya mengikuti apa yang diperintahkan bapak itu karena aku pikir kalau bapak itu adalah kernit bis tujuan Madura.
Koperku sudah dimasukkan ke dalam bagasi bis dan bapak itu kembali menghampiriku yang masih sibuk dengan HP untuk mengabari ibu di rumah.
"Uang ongkosnya dua puluh ribu dek." Ucap bapak itu dengan tangannya di depan mukaku.
"Asemmm, ternyata bapak itu jasa angkut toh. Tahu gitu, mending aku bawa koperku sendiri." Omelku di dalam hati sambil memberikan uang dua puluh ribu supaya bapak itu cepat pergi.
Sebenarnya aku ikhlas memberikan uang kepada bapak yang aku kira sebagai kernit bis, akan tetapi aku mulai khawatir kalau uangku tidak cukup buat ongkos ke Madura.
Dengan perasaan dag dig dug, aku duduk di dalam bis dan memegang uang enam puluh ribu.
"Berapa mas ongkosnya?" Tanyaku kepada kernit asli bis itu.
"Enam puluh ribu mbak." Jawab mas nya dan berhasil membuat aku menghela nafas lega.
Ketika sampai di rumah, aku tersenyum geli mengingat kenekatanku yang hanya membawa uang ongkos pas.
No comments:
Post a Comment