Setelah sekian lama tidak sowan ke pengasuh pesantren dimana dulu aku menuntut ilmu, di weekend kemarin emmak mengajakku untuk pergi sowan bersama-sama.
Ketika emmak mengajakku untuk pergi sowan tepat saat H-3, aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan pengasuh dan juga teman-teman di pesantren.
"Nanti kita mampir ke kota dulu Yuk sebelum berangkat dan pulangnya juga mampir ke sana karena emmak mau membeli kacamata." Kata emmak sambil mengingat kacamatanya yang rusak karena jatuh.
Mendengar kata kota membuat aku diliputi perasaan khawatir yang luar biasa. Selama 20 tahun menjadi warga kabupaten Sumenep, aku tidak pernah hafal jalan kota walaupun sebenarnya jalan kota di kampung halamanku tidak seribet dengan jalan kota-kota besar.
"Tapi, emmak tahu kan jalan ke toko yang emmak tuju?"
"Iya tahu. Nanti emmak tunjukkan."
Aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan khawatir tersesat ketika sudah berangkat nanti walaupun emmak lebih hafal jalan menuju kota.
Pagi-pagi sekali aku dan emmak sudah berangkat karena perjalanan dari rumah ke pesantren harus ditempuh kurang lebih selama dua jam ditambah dengan mampir ke toko yang ingin emmak datangi.
"Dimana tokonya emmak?".
"Sebentar Yul. Kita berhenti dulu."
Hmmmm
Perasaan khawatirku menjadi kenyataan, ternyata emmak juga sedikit lupa jalan kota. Aku menatap emmak dan mulailah emmak tertawa melihat mukaku yang sudah mulai tidak enak untuk dipandang.
Setelah bertanya kepada orang-orang di pinggir jalan, emmak berhasil menemukan tokonya dan kami segera berangkat menuju pesantren.
Selama perjalanan ke pesantren, emmak selalu bilang kalau ia sangat senang karena akhirnya bisa membeli sesuatu yang sudah sangat ia inginkan sejak lama, yaitu minyak pijat.
Emmak memang sangat suka membeli minyak pijat karena pijatannya yang sangat enak membuat orang-orang selalu memintanya untuk memijat mereka.
"Memangnya di pasar dekat rumah tidak menjual minyak kayak gitu po mak?"
"Ada kok, tapi harganya lebih mahal. Kalau di kota 150 ribu perbotol, tapi kalau di rumah 151 ribu."
"Ya Allah. Mending beli di rumah aja mak dari pada harus berkeliling di kota kayak tadi." Ucapku dalam hati melihat emmak dari kaca spion motor yang dibalas dengan senyuman usil oleh emmak.
Emmak memang sangat suka membeli sesuatu yang lebih murah dengan syarat kualitasnya juga sama-sama bagus walaupun lokasinya sangat jauh.
Kapan aku bisa meniru emmak yang sangat hemat ya rabb?
Suasana pesantren memang sangat berbeda dengan suasana di luar. Banyak hal yang aku dapatkan termasuk kedamaian.
"Ehh ada mbak Yuli dan ibunya. Bagaimana kabarnya?" Dawuh ny.Fadhilah yang merupakan pengasuh pesantren.
Emmak memang akrab dengan beliau bahkan ketika aku sowan sendirian pasti ny.Fadhilah tetap menanyakan kabar emmak.
"Mbak Yuli nginap di sini ya. Nanti mengajar anak-anak Engenia di sini." Lanjut beliau.
Aku hanya tersenyum bahagia dan menjawab dengan kata insyaAllah karena sebenarnya, aku juga sangat ingin menginap di pesantren. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri untukku ketika diberikan kepercayaan oleh pengasuh sendiri.
"Bagaimana Yuli, nulis nggak?" Dawuh K.Naqib yang baru selesai menemui tamunya.
Deggggg
"Iya ustad. Insya Allah istiqamah nulis."
"Bagus. Nanti kirim ke sini ya."
Ingin rasanya aku berteriak kegirangan ketika mulai menemukan semangat untuk menulis kembali hanya karena pertanyaan dan semangat dari pengasuh pesantren.
Literasi di pesantren memang belum banyak dikenal masyarakat karena medianya masih terbatas. Namun, soal skill menulis mereka tidak usah diragukan lagi.
Setelah sowan ke pengasuh (ny.Fadhilah&K.Naqib), aku tidak lupa untuk mampir ke teman-teman yang masih tinggal di pesantren.
Beberapa di antara mereka sudah ada yang menjadi pengurus pesantren.
"Syukurin. Suruh siapa dulu sering melawan pengurus, endingnya kena karma lo dan menjadi pengurus." Ledekku melihat mereka yang baru selesai bercerita tentang suka duka menjadi seorang pengurus.
"Heleh...dulu, kamu juga lebih parah dari kita kok, cuma kebetulan kamu kuliah di luar mangkanya tidak mendapat karma dari pengurus." Jawab mereka tidak mau kalah.
Ambyarr rekk😂🤣.
Emmak memandangku dengan ekspresi yang menuntut penjelasan karena aku baru ingat kalau emmak baru mengetahui sisi aku yang pernah menjadi ketua geng pelawan pengurus waktu di pesantren😂.
"Dulu, Yuli sering melanggar peraturan mak, tapi semua itu dia lakukan karena membela club bahasa Inggrisnya (Engenia) yang selalu dipandang sebelah mata oleh pengurus." Ujar Lia yang tidak lain teman kelas sekaligus teman di pesantren.
Aku mulai bisa bernafas dengan lega karena akhirnya bully an mereka berakhir dengan pembelaan😂.
"Jangan lupa belok kiri."
"Jangan lupa belok kanan."
"Lurus saja."
Emmak masih setia menunjukkan jalan menuju pasar kota dimana ia mau membeli jamu kesukaannya. Selain tidak hafal jalan kota, salah satu sisi kelemahanku adalah tidak bisa mengetahui arah mata angin ketika pergi kemana-mana termasuk Sumenep kota sehingga emmak selalu memakai kata kanan dan kiri ketika menunjukkan jalan.
No comments:
Post a Comment