Diam di kos dan berteman dengan semut-semut yang entah keluar dari mana membuat aku sangat senang ketika salah satu senior mau mengajakku bertemu dengan pak Edi Ah Iyubenu di kafe barunya beliau yang lokasinya tidak jauh dari kos.
Sebagai mahasiswa rantauan dan penghuni kos an yang belum memiliki motor membuat senior yang biasa aku panggil dengan kang Adi harus menjemputku terlebih dahulu ke kos.
Kang Adi adalah senior bersejarah urutan kedua setelah Michael yang berhasil mengajakku bertemu dengan teman-teman alumni pesantren yang lain. Aku menganggap hal itu sebagai suatu sejarah mengingat bagaimana sifatku dulu yang masih sangat malas untuk bertemu dengan orang banyak disebabkan sifat malu.
Kang Adi juga berasal dari Madura, lebih tepatnya beberapa kilometer dari pesantren dimana aku pernah menuntut ilmu. Lengkong, sebuah desa yang tidak asing aku dengar namanya karena beberapa temanku juga berasal dari sana sekaligus juga desa kang Adi.
Setelah sampai di kafe pak Edi, aku dan kang Adi harus menunggu beliau sekitar dua jam karena pak Edi masih ada di kafenya yang lain. Karena kami juga tidak sedang buru-buru, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu beliau sambil mengobrol ditemani oleh secangkir teh milikku dan secangkir kopi milik kang Adi.
"Aku sangat suka dan penasaran cara berbisnis seperti pak Edi Yul."
"Kalau aku sih lebih penasaran sama literasinya pak Edi kang."
"Iya, itu juga bagus. Aku sampek pernah nge design logo buat bisnisku loh." Kata kang Adi sambil menunjukkan logo berwarna merah maroon dengan tulisan "Lengkong Press" di bawahnya.
Tanpa diberitahu pun, aku tahu kalau kata Lengkong itu diambil dari nama desanya kang Adi sendiri. Aku tersenyum bangga melihat logo itu dan entah kenapa aku bilang terhadap diriku sendiri kalau kang Adi pasti bisa menjadi orang dengan bisnisnya yang sukses.
Aku belum bisa meniru kang Adi yang penuh dengan keunikan itu karena dari jiwa bisnis saja, aku belum mempunyai ketertarikan terhadap hal tersebut. Namun, berkali-kali aku juga bilang kepada diriku sendiri that we can shine with our own ways.
"Kenapa tidak berbisnis di Madura saja kang?" tanyaku kepada kang Adi yang baru saja menyeruput kopi di depannya.
"Doakan saja Yul." Jawab kang Adi tersenyum sambil memperbaiki kacamatanya.
Aku punya banyak teman yang memang mendalami dunia bisnis, akan tetapi hanya beberapa di antara mereka lah yang berani mengembangkan bisnisnya dengan cara yang unik, membuat logo misalnya.
Kurang lebih satu bulan setelah obrolan kami malam itu, aku tidak bertemu dengan kang Adi karena pulang kampung. Ketika sedang menscroll beranda Facebook, tiba-tiba ada satu notifikasi yang berhasil membuat aku kaget.
Lengkong Press mengundang anda untuk menyukai tautannya.
Begitulah kira-kira isi notifikasi yang tanpa menunggu waktu segera aku klik tombol like. Aku tersenyum sekaligus bangga karena ternyata Lengkong Press milik kang Adi sudah mempunyai akun sosmed bahkan bergabung di toko online. Progress seperti itu menjadi bukti bahwa kang Adi memang berkomitmen untuk mengembangkan bisnisnya dan bukan hanya sebagai hobi.
"Kang, nanti aku bikin tulisan ya soal kang Adi dan Lengkong Press." Kataku lewat chat yang ku kirimkan setelah melihat story nya di sosmed sehingga muncullah tulisan yang sedang kalian baca ini tentang bagaimana uniknya cara kang Adi dalam berbisnis sehingga berkembang dengan pesat.
Hasil memang tidak akan pernah mengkhianati proses dan orang pintar akan kalah terhadap orang yang tekun. Proud of you Kang. Mantap.
No comments:
Post a Comment