Sunday, August 30, 2020

Pengganti "Anjay"

    Seharian aku tidak membuka media sosial dan membaca berita online serta story teman-teman karena aku harus membantu melayani tamu di rumah sepupu yang baru saja berduka karena meninggalnya mertuanya. 
    Ketika semua urusan sudah selesai dan hanya tinggal bersih-bersih kamar sebentar, aku membuka HP dan mulailah aku tahu kalau sedang ada berita yang viral. Berita itu adalah berita tentang komnas PA yang menilai penggunaan kata anjay untuk bullying bisa berpotensi dipidana. 
   Sebagai orang yang sering menggunakan kata anjay ketika mengobrol santai bersama teman-teman, tentu aku mulai merasa heran kenapa kata anjay itu sampai dibawa ke ranah yang serius. 
    Setelah membaca beberapa artikel mulai dari berita online ataupun blog pribadi seseorang, ternyata aku sudah menemukan jawaban dari keherananku tadi. Jadi, ada seorang youtuber yang mengadu kepada komnas PA tentang kata anjay yang bisa merusak moral bangsa.        Selama kata anjay, anjir dan kata-kata yang lain mulai Viral, aku pribadi lebih sering menggunakan kata anjay ketika ingin bercanda dengan teman-teman karena selain mulutku memang masih belum terbiasa dengan kata cuk, anjir dan yang lainnya, aku juga merasa kata anjay adalah kata untuk misuh yang kesopanannya lebih tinggi dari yang lain.
    Seseorang pernah bercerita kepada aku bahwa kata-kata kasar bisa menjadikan kita lebih akrab dengan teman-teman karena pada faktanya mereka juga tidak menganggap kata-kata itu sebagai kata kasar bahkan ada sebagian yang menganggapnya sebagai panggilan akrab.      Selama aku menggunakan bahasa-bahasa itu (anjay, anjir dll), aku mulai belajar sesuatu kalau sebenarnya kata kasar akan menyinggung orang lain ketika lawan bicaranya adalah orang yang tidak begitu akrab dengan kita sehingga dapat aku katakan kalau semua bahasa itu bisa disesuaikan dengan konteksnya. 
   Lantas aku harus misuh dengan kata apa jika kata anjay itu saja dilarang?
   Apakah aku harus memakai kata anjing?
    Bukankah itu jauh lebih kasar dari pada anjay karena kata itu adalah nama asli dari hewan?
    Aku semakin menggelengkan kepala dan semakin tidak paham dengan semuanya. Beberapa minggu yang lalu aku juga membaca berita tentang seorang nelayan yang dihukum karena merobek uang. 
    Aku memang tidak membaca berita itu secara tuntas karena sangat bosan dengan kekonyolan orang-orang yang memiliki jabatan.
  Sekarang, aku kembali membaca berita yang euhhhh bikin hati terenyuh:(. 
    Bagaimana bisa wahai pemirsa???
    Sudahkah urusan yang lebih penting dari kata anjay terselesaikan? 
    Mungkin pertanyaan itu tidak akan ku temukan jawabannya, jadi sebaiknya aku mulai mencari kata pengganti anjay untuk ku jadikan sapaan akrab buat teman-teman.
    Suatu hari, ada seorang temanku yang bercerita kalau dia tidak kerasan tinggal di kampung halamannya sendiri karena dia sangat bosan dengan masyarakat yang hanya mendengarkan pendapat dari orang yang memiliki jabatan tinggi dan memakai dasi. Mungkin itu juga bisa menjadi alasan dari orang yang pergi ke luar negeri karena bosan dengan lucunya hukum di dalam negeri. 
    Sebenarnya, semua kemungkinan bisa terjadi mulai dari kemungkinan yang memang masuk akan bahkan sampai yang tidak bisa dijangkau oleh akal.

Friday, August 28, 2020

Benci Menjadi Cinta, Katanya.

    "Yul, kamu suka membaca sejak kecil ya?" tanya salah satu temanku atau lebih tepatnya teman baru karena kami baru saling berkenalan ketika secara tidak sengaja bertemu di warung kopi dekat kos. 
     Melamun adalah hal yang sangat jarang aku lakukan karena selain bingung mau melamunkan apa, aku juga mulai percaya omongan orang-orang kalau melamun bisa menyebabkan kerasukan setan (tidak tau itu benar atau hanya mitos). Akan tetapi, setelah mendengar pertanyaan temanku itu, aku melamun sangat lama sekalipun kami sedang ada di tengah keramaian warung kopi. 
      Aku jadi teringat kalau dulu aku memang tinggal di pesantren yang sangat hebat bahkan santrinya dilatih untuk mencintai buku dengan menerapkan peraturan peminjaman 5 buku (kalau tidak salah dengan genre fiksi dan juga ilmiah). Peraturan itu dijalankan setiap bulan yang dijalankan oleh pengurus perpustakaan.
Setiap sore di awal bulan, teman-teman santri mulai dari kelas Mts sampai pasca (santri yang sudah kuliah) memenuhi perpustakaan untuk meminjam buku.                Sebenarnya, aku tahu kalau ada sebagian dari mereka yang meminjam buku disebabkan takut mendapat denda karena bagi santri yang tidak meminjam buku sesuai dengan jumlah yang diberikan oleh pengurus perpustakaan, maka mereka akan mendapat hadiah yaitu mengaji satu jus wkwk.
      Awalnya, aku juga sangat rajin seperti mereka. Akan tetapi, hari demi hari setan di dalam tubuhku berhasil merayuku dan akhirnya aku selalu mencari cara supaya bebas dari perpustakaan😂. Setiap santri mempunyai kartu peminjaman buku masing-masing dan setiap akhir bulan kartu itu diambil oleh pengurus perpustakaan untuk dilihat apakah mereka sudah meminjam buku dengan lengkap atau tidak.
    Bagaimana dengan nasib kartuku?😂           mungkin orang-orang akan mengira kalau aku sudah berkali-kali mendapat hukuman karena sudah jarang meminjam buku. Akan tetapi, itu salah😂. Aku berhasil lolos dari pengurus perpustakaan karena setiap mereka meminta kartu peminjaman bukuku, aku selalu beracting seperti orang yang sedang kehilangan kartu itu sendiri sehingga mereka bilang        "Ya sudah. Nanti kalau kartunya sudah ketemu, segera bawa ke perpustakaan!" dan betapa nakalnya aku yang tidak pernah melakukan perintah itu.
     Salah satu alasanku tidak mau meminjam buku saat itu adalah karena aku benar-benar tidak suka membaca. Alasan itu mungkin masih bisa dilakukan dengan memaksa diri sendiri, akan tetapi lagi dan lagi, aku adalah santri yang pernah nakal pada masanya😂.
    Di awal kenakalanku itu, aku mengira akan selalu bebas dari yang namanya dunia perpustakaan, akan tetapi ternyata tidak. Tepat di tahun ke-2 sebelum aku berhenti dari pesantren untuk melanjutkan kuliah, aku dilantik menjadi pengurus perpustakaan.
    KOK BISA? 
     Aku pun juga tidak mengerti😂. Mungkin hal itu yang disebut dengan karma. Saat aku berdiri di depan seluruh santri bersama pengurus baru perpustakaan yang akan dilantik, pertama kali dalam hidup aku menyesali kenakalanku sendiri dan merasa ditampar oleh keadaan.
    Hari-hariku tidak seperti sebelumnya dimana aku selalu merasa anti dengan perpustakaan terutama ketika melihat teman-teman santri memenuhi perpustakaan, akan tetapi aku selalu menjadi penghuni setia perpustakaan. Semua itu aku lakukan bukan karena membaca buku, akan tetapi karena memanfaatkan kipas yang waktu itu hanya ada di perpus😂. 
     Ketika semua teman-teman pengurus berbicara buku, di situlah aku merasa sebagai orang yang bodohnya minta ampun. Aku tidak paham pembicaraan mereka sampai akhirnya aku taubat😂dan sedikit demi sedikit mulai membaca buku.      Kegemaranku membaca buku tidak bertahan lama karena disibukkan dengan UN, UAMBN dan N N yang lainnya (generasi yang masih merasakan bagaimana dag dig dug nya ati saat UN tiba) sampai akhirnya aku berhenti dari pesantren. 
    Walaupun dulu bahkan sampai sekarang aku tetap nakal, akan tetapi aku bersyukur karena ternyata kenakalanku itu membuatku sadar kalau aku masih sangat buta akan dunia literasi dan tidak ada alasan lagi untuk bermalas-malas an. 
      "Aku pengin anakku kelak tinggal di pesantren yang sama dan semoga dia mendapat peraturan yang sama denganku." Ucapku dalam hati setiap mengingat pesantren tempatku menimba ilmu dan mengajarkanku semua arti pengetahuan dan tatakrama. 
    "Pikiranmu terlalu kejauhan Yul sampai memikirkan anak segala." Ujar teman se haha hihi ku yang sudah biasa dengan omongannya yang bisa mengiris hati orang lain😂. 
    Pertama mengenal dia memang membuat aku marah dan kesal luar biasa karena waktu itu secara blak blak an dia mengomentari kamar kosku yang sangat berantakan, akan tetapi untuk omongannya di atas berhasil aku respon dengan baik sehingga dia berkata                    "Ternyata pikiranmu sudah kebal dengan ke blak blak anku ya Yul." Responnya sambil menyisir rambutnya yang gondrong dengan jari-jari tangannya.
     Kami tertawa lepas sambil menyeruput teh di warung kopi (karena kami memang sama-sama bukan penikmat kopi) sambil melihat kereta dan senja (gagal puitis😂).

Tuesday, August 25, 2020

Jurus Ampuh Seorang Pedagang

     Ada kebiasaan yang aku sangat rindukan ketika sedang tidak ada di rumah, yaitu mengantarkan emmak ke pasar. Setiap hari Selasa atau hari Jumat emmak memang rutin pergi ke pasar yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.
Walaupun rutin pergi ke pasar, emmak bukan merupakan seorang pedagang. Keperluan emmak hanya untuk membeli ikan atau menjual pisang. 
    Rumahku memang terletak di sebuah desa sehingga masih banyak masyarakat yang memanfaatkan pasar bukan hanya sebagai tempat membeli baju dan barang-barang lainnya, akan tetapi juga untuk menjual atau membeli pisang.
      Waktu aku masih kecil, ikut ke pasar di hari Jumat bersama emmak menjadi hal yang sangat aku suka. Singkat cerita, banyak hal yang aku temui ketika sedang di pasar, mulai dari orang yang kena jambret, macet, pedagang yang mengeluh karena dagangannya tidak laku sampai rayuan pedagang kepada pembeli supaya dagangannya bisa terjual dengan harga yang sudah mengalami proses tawar menawar. 
    "Ayo Ci (Singkatan dari Haji atau hajah dalam bahasa Madura) ke sini. Mau membeli apa?" tanya seorang perempuan yang tidak lain adalah seorang pedagang yang duduk di dekat barang jualannya dengan senyum rayuannya😂.
     "Emmak, kok dia memanggil emmak Acci (haji atau hajah dalam bahasa Madura)? Kan emmak belum naik haji." Tanyaku kepada emmak sambil menggerakkan tangannya yang sedang menggenggam  tanganku.
     "Sudah biarkan saja, malah kita harus berterima kasih kepada mereka karena siapa tau dengan panggilan mereka itu bisa membuat kita menemukan rezeki untuk segera naik haji." Jawab emmak tersenyum sambil melirik kepada pedagang yang memanggilnya dengan hajah ketika kami sudah pergi menjauh setelah membeli barang yang dijual oleh si pedagang menuju warung makanan langganan kami.
     Awalnya, aku lupa terhadap kejadian saat itu. Akan tetapi, aku kembali ingat hal itu karena beberapa hari yang lalu bertemu dengan si pedagang.
     "Mau beli apa ci (singkatan dari haji atau hajah dalam bahasa Madura)?" Tanya pedagang yang masih sama dengan tempat yang juga sama.
      Berbeda dengan waktu masih kecil, aku mulai mempertanyakan alasan dari si pedagang memanggil emmak dengan hajah kepada diriku sendiri. Aku menemukan jawaban dari pertanyaan itu dan tersenyum sendiri.
     Berdasarkan jawaban yang aku dapat dari pertanyaan yang aku buat sendiri, ada dua jawaban atau kemungkinan yang membuat si pedagang memanggil emmak dengan hajah.
     Alasan yang pertama ialah karena emmak yang selalu memakai gamis setiap pergi ke pasar sehingga terlihat seperti orang yang pernah naik haji atau mendalami ilmu keagamaan.
    Sedangkan alasan yang kedua ialah karena ada niat untuk menjadikan panggilan itu sebagai rayuan supaya emmak mau membeli dagangan perempuan itu😂. 
     Dari dua alasan itu, alasan nomor terakhir lah yang membuat aku sering tersenyum ketika mengingat wajah si pedagang. Dari  pedagang itu, aku belajar kalau cara mempromosikan sesuatu itu ternyata tidak hanya dengan panggilan panggilan gombal, akan tetapi juga dengan panggilan yang bisa menjadi doa, seperti panggilan hajah buat orang yang belum naik haji misalnya😂.
     Di samping itu, aku mulai berharap supaya ada pedagang atau orang-orang yang memanggilku dengan dokter supaya cita-citaku bisa tercapai berkat perkataan mereka yang seperti orang-orang katakan bahwa setiap perkataan adalah doa.

Sunday, August 23, 2020

Menentukan Peta Hidup

    Ada satu lingkungan yang dulu selalu membuatku merasa nyaman dan sekarang seperti membuatku tidak pernah merasa aman. Sebenarnya, aku terlalu malas untuk membahas pertanyaan yang ditanyakan orang-orang, akan tetapi itu semua selalu memaksa untuk menetap di dalam otakku.
   Hidupku selama dua puluh tahun memang tidak hanya di satu tempat. Ketika aku datang atau pulang dari satu tempat ke tempat yang lain, selalu ada orang yang dengan santainya bertanya apakah aku sudah memiliki pasangan atau tidak.
    Well, sebenarnya aku merasa fine dengan pertanyaan mereka, toh tidak jarang manusia  selalu dirasuki rasa kepo yang tidak mengetahui batas. Semakin hari semakin banyak saja orang-orang yang rasanya ingin membuatku jatuh dan tidak bersemangat walaupun hanya lewat ucapan.
    "Umur dua puluh tahun kok belum memiliki pasangan?"
     Ya, pertanyaan itu sama persis dengan apa yang mereka tanyakan. Aku masih sangat heran dengan orang- orang yang membuat standar terhadap kehidupan dan kesuksesan orang lain dan melupakan standar hidupnya sendiri.
    Apa semua orang terutama perempuan harus selalu mengikuti alur hidup seperti yang orang lain katakan? Menurut mereka, seorang perempuan yang sudah menginjak umur dewasa memang sangat dianjurkan untuk memiliki pasangan dan bla bla bla.
    Memangnya hidup di dunia harus selalu mengikuti kebiasaan orang lain? Aku mulai merasa kesal ketika seseorang hanya mengagung-agungkan orang yang sudah sesuai dengan kepercayaan mereka dimana tugasnya hanya sekolah, tunangan dan menikah.
    Lantas bagaimana jika mereka ingin menjadi perempuan karier?
Sekolah ataupun kuliah itu adalah perjalanan yang mengandung banyak proses dan begitu pun dengan tunangan atau menikah. Hanya saja, banyak orang-orang yang melompati salah satu proses mereka hanya karena mengikuti standar hidup yang diberikan orang lain.
     Pembahasanku tentang hal ini bukan berarti aku tidak pernah atau sedang jatuh cinta dan memiliki pikiran tentang masa depan? Aku sudah memikirkan itu semua, akan tetapi target-target yang aku buat sedikit berbeda dengan standar yang diberikan orang lain.
    So, please stop asking my planning for my future especially for my private relationship because it's mine and not yours.

Thursday, August 20, 2020

Serba-Serbi Perjalanan

      "Jangan mau barang-barangmu diangkut oleh orang lain kalau sudah sampai di terminal Surabaya karena mereka hanya mengharap bayaran dari kamu!" Kata sepupuku yang kuliah di Surabaya pada suatu hari saat sedang sama-sama ada di rumah. 
      Ketika aku mau pulang ataupun berangkat ke Jogja, aku selalu memilih untuk naik bis karena selain murah, juga lebih simple dari pada harus naik kereta.          Berbeda dengan orang-orang yang pergi ke jakarta yang bisa naik bis tanpa transit di terminal lain. Ketika mau pulang ke madura atau berangkat ke Jogja, aku harus transit terlebih dahulu di terminal Bungurasih.
     Selama dua tahun merantau di Jogja, aku sudah terbiasa pulang atau berangkat ke Jogja sendirian walaupun masih ada perasaan takut dicopet di dalam bis. 
Satu bulan yang lalu, aku kembali ke Jogja di tengah-tengah pandemi karena ada acara. 
     Ibu selalu menasihatiku untuk pulang secepatnya karena takut dengan isu-isu covid-19 yang mulai menyebar kembali.
Karena semua urusan sudah selesai dan ibu juga sudah sering menelfonku, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke Madura. 
      Kampusku sudah memperpanjang kuliah online karena keadaan yang masih diserang oleh covid-19 sehingga tidak ada alasan lagi buat aku untuk tidak pulang. Seperti biasa, ibu sangat antusias saat mendengar kalau aku akan pulang dan uang ongkos pun sudah dikirim. 
      Aku hanya meminta 150K untuk uang kos karena biasanya itu sudah sangat cukup buat ongkos bis kelas ekonomi dari Jogja ke Madura. Semua barang-barang sudah selesai aku masukkan ke dalam koper termasuk buku yang akan aku butuhkan ketika kuliah online sudah dimulai. 
      Kepulanganku itu lebih terniat dari pada kepulangan yang sebelumnya. Karena aku tidak suka perjalanan di siang hari, akhirnya aku berangkat setelah Isya' ke terminal Giwangan diantar oleh temanku.
     Setelah sampai di terminal Giwangan, aku mulai khawatir karena suasana terminal sangat sepi dan hanya ada bis kelas atas (tidak mau menyebut merk wkwk) yang tidak biasa aku tumpangi karena ongkosnya yang mahal. 
      Mukaku mulai pucat dan membayangkan kalau ternyata aku harus menunda kepulangan hanya karena tidak ada bis. 
       Dengan perasaan yang sudah mulai pasrah, aku bilang kepada temanku kalau aku memilih untuk ikut bis yang kelas itu walaupun sebenarnya uangku sangat kurang, akan tetapi masih ada sisa saldo di atm yang mungkin bisa aku pakai untuk ongkos dari surabaya ke Madura.
     Temanku paham tentang apa yang ada di dalam pikiranku. Dia tetap mencari bis kelas ekonomi dan saat itu keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Ada bis kelas ekonomi jurusan Surabaya yang akhirnya mau berangkat. 
     Kalau ditanya perasaanku saat melihat bis itu, maka jawabannya adalah seperti sedang bertemu dengan doi (padahal nggak punya wkwk) yang dipenuhi dengan bunga-bunga bertebaran di dalam hati (apaan sih garing 😂).
      Aku duduk di kursi bagian tengah dekat dengan jendela. Melihat orang-orang yang ada di dalam bis itu membuat aku seperti sedang bertemu dengan preman. Bagaimana tidak, semua orang memakai masker berwarna hitam dan kacamata serta sarung tangan. 
      Aku hanya berusaha untuk tidak takut dan memeluk tasku supaya tidak terkena jambret😂. Selama di dalam bis, perutku sangat lapar. Aku memakan jajan dan roti yang diberikan oleh sahabatku sebelum berangkat ke terminal Giwangan (thank you calon kajur).
      Tepat saat azan Subuh berkumandang, aku tiba di terminal Bungurasih, Surabaya. Mukaku sudah lusuh dan perutku mulai tidak karuan serta ingin muntah. 
     Dengan kesadaranku yang baru terkumpul dengan total, aku turun dari bis bersama tas yang aku gendong dan menarik koper menuju bis jurusan Madura.
"Mau kemana dek?"
"Mau naik ojek dek?"
     Suara bapak-bapak di pintu terminal Bungurasih mulai terdengar. Aku hanya tersenyum dan menggeleng untuk menolak tawaran bapak-bapak jasa angkut dan bapak gojek itu. 
     Uangku masih tersisa delapan puluh ribu karena ongkos dari Jogja -surabaya naik menjadi 70K. Aku menghela nafas ketika sampai di ruang tunggu bis sambil bersyukur karena uangku masih cukup untuk ongkos ke Madura. 
     Ketika sudah minum dan menghilangkan penat karena duduk di bis, tiba-tiba ada seorang bapak menghampiriku dan menanyakan jurusan bis yang ingin aku tumpangi.
Mendengar kata "Sumenep" yang merupakan kabupaten paling ujung di pulau Madura, bapak itu mengambil koperku dan menyuruhku untuk mengikutinya. 
      Aku hanya mengikuti apa yang diperintahkan bapak itu karena aku pikir kalau bapak itu adalah kernit bis tujuan Madura.
     Koperku sudah dimasukkan ke dalam bagasi bis dan bapak itu kembali menghampiriku yang masih sibuk dengan HP untuk mengabari ibu di rumah. 
"Uang ongkosnya dua puluh ribu dek." Ucap bapak itu dengan tangannya di depan mukaku.
"Asemmm, ternyata bapak itu jasa angkut toh. Tahu gitu, mending aku bawa koperku sendiri." Omelku di dalam hati sambil memberikan uang dua puluh ribu supaya bapak itu cepat pergi.
     Sebenarnya aku ikhlas memberikan uang  kepada bapak yang aku kira sebagai kernit bis, akan tetapi aku mulai khawatir kalau uangku tidak cukup buat ongkos ke Madura.
      Dengan perasaan dag dig dug, aku duduk di dalam bis dan memegang uang enam puluh ribu. 
"Berapa mas ongkosnya?" Tanyaku kepada kernit asli bis itu.
"Enam puluh ribu mbak." Jawab mas nya dan berhasil membuat aku menghela nafas lega. 
      Ketika sampai di rumah, aku tersenyum geli mengingat kenekatanku yang hanya membawa uang ongkos pas.

Sunday, August 16, 2020

Hak Istimewa Sepeda yang Sering Diabaikan

Selama dua hari berturut-turut, aku menginap di rumah temanku yang jaraknya lumayan jauh dari kos. Bukan tanpa alasan aku menginap di rumah temanku yang bernama Lia, akan tetapi karena diminta oleh orang tuanya Lia yang akan berangkat ke Jawa Barat selama dua hari. Hari kedua di rumah Lia, aku mengajaknya untuk pulang ke kos karena aku harus mencuci pakaian yang sudah menumpuk. "Siapa yang mau menyetir?" tanya Lia menatap aku yang masih sibuk dengan HP. Sebenarnya, motor yang kami pakai adalah motor si Lia, tapi karena aku sering mengeluh sakit perut setiap dia yang menyetir karena tidak pernah pelan-pelan setiap ada polisi tidur, akhirnya si Lia selalu menyuruhku untuk menyetir motornya. Selama di perjalanan, aku selalu bertanya arah jalan karena kebetulan walaupun sudah berkali-kali aku main ke rumahnya, otakku tetap tidak bisa menghafal rute jalan. Entah kenapa, ketika aku pergi ke suatu tempat dan belum tau atau hafal rute jalannya, maka perjalanan itu akan terasa lebih jauh dari biasanya dan hal itulah yang aku rasakan saat itu. Kalau kalian bertanya, lebih sulit mana antara menghafal rute jalan kota dan menghafal rumus mata pelajaran, maka jawabanku adalah menghafal rute jalan kota. Hal itu sudah terbuktikan dengan pengalamanku yang dua puluh tahun menjadi warga Sumenep, akan tetapi sering tersesat ketika ada di Sumenep kota. Selain itu, dua tahun di Jogja pun tidak membuat aku berhasil hafal jalan pulang dari Malioboro ke kos😭. Ketika kami harus berhenti karena lampu merah dan kebetulan posisi motor kami ada di baris paling depan, aku melihat tulisan "ruang tunggu khusus sepeda" di aspal jalan. Aku hanya tersenyum melihat tulisan itu sambil berpikir kalau tulisan itu lebih sering diabaikan oleh para pengendara motor dan mobil. Sebenarnya aku tahu kalau tujuan mereka (petugas) memberi ruang tunggu seperti itu khusus sepeda dekat lampu merah mungkin karena jalannya sepeda yang pelan dan bisa terjebak lampu merah dua kali apabila ada di belakang. Sebagai mahasiswa yang hanya masih mempunyai sepeda ontel, aku benar-benar merasakan bagaimana saat aku harus mengayuh sepeda dengan cepat dengan cepat supaya tidak terjebak oleh lampu merah lebih-lebih di siang hari dan baru pulang dari kampus atau tempat kerja. Akan tetapi, sayang sekali takdir sering tidak berpihak denganku wkwkw. Aku selalu harus menunggu lampu merah berganti lampu hijau bersama motor dan mobil mewah yang lain bahoan sering ada di baris paling belakang sehingga "ruang tunggu khusus sepeda" tidak lagi berlaku. Suara klakson motor dan mobil di belakang kami sangat berisik. Aku tahu jalau mereka membunyikan klakson karena menegur kami yang tidak maju dan menunggu lampu merah di jalan yang ada tulisan " ruang tunggu khusus sepeda". Aku hanya tertawa di balik masker yang aku pakai. Sebenarnya, ada dua alasan kenapa aku melakukan itu semua. Alasan yang pertama adalah karena aku ingin menerapkan patuh terhadap peraturan yang ada di jalan yang salah satunya adalah tidak menunggu lampu merah di atas "ruang tunggu khusus sepeda" karena aku naik motor. Alasan kedua adalah tidak lain hanya karena jiwa usilku yang kumat😂. "Bodo amat. Toh aku juga tidak kenal mereka." Responku sambil tertawa ketika Lia menegurku karena keusilan yang aku lakukan sambil menancap gas motor meninggalkan orang-orang yang mungkin masih merasa kesal terhadap aku wkwkw.

Friday, August 14, 2020

Jangan Jadikan Pernikahan Sebagai Pelarian

Tanpa terasa, sudah dua tahun aku di Jogja dan artinya kurang dua tahun lagi untuk menyelesaikan S1 (semoga bisa lebih cepat dan diberikan kelancaran aamiin) dan melanjutkan S2 (aamiin). Waktu dua tahun ini benar-benar berjalan dengan cepat padahal rasanya baru kemarin aku diantar keluargaku ke Jogja dan tiba di kampus jam dua pagi (unforgettable moment). Saat masih MA, aku pernah berkhayal untuk kuliah di luar Madura dan mempunyai teman kampus yang mengajak aku main ke rumahnya sehingga aku juga bisa merasakan suasana desa di tempatku merantau. Beberapa bulan yang lalu, khayalanku itu menjadi kenyataan saat seorang temanku (perempuan) mengajak aku main ke rumahnya. Lokasi rumahnya tidak terlalu jauh dari Jogja kota. Selama di perjalanan, aku tidak berhenti berfikir tentang hal apa yang akan aku katakan kepada orang tua temanku untuk menyapanya. Awalnya, aku memang sedikit canggung karena aku takut salah ngomong. Akan tetapi, setelah berjam-jam di sana, ternyata aku mulai akrab dengan orang tuanya temanku itu. "Nak Yuli orang Jogja juga?" tanya ibu temanku. Nah, selain mukaku yang pasaran, juga banyak orang-orang yang tidak tau kalau aku adalah orang Madura. Mungkin hal itu disebabkan karena logatku yang sering ku buat medok (biar ala-ala orang Jawa). Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ketika aku sedang bertamu, hal yang menjadi kebiasaanku adalah menjadi orang kalem dadakan ( padahal aslinya masyaAllah tidak kalem sekali wkwk) dan itu berbeda dengan ketika aku sedang berada di kos😂. Obrolan demi obrolan semakin menarik selama aku ada di rumah temanku. Sang ibu bercerita bagaimana perjuangannya beliau bersama suaminya membangun usaha supaya bisa bertahan hidup dan membiayai temanku yang waktu itu masih umur empat tahun sampai harus pindah tempat tinggal berkali-kali. Mendengar cerita beliau membuat aku kagum luar biasa. Aku tidak bisa membayangkan kalau ternyata kehidupan rumah tangga terutama tentang hal finansial memang bukanlah urusan yang sepele. "Alhamdulillah Yul, sekarang ibuk sudah bisa membiayai anak-anak untuk melanjutkan sekolah dengan lancar. Akan tetapi, di balik lancarnya rezeki ibuk, ternyata si A (temanku yang tidak lain adalah anak beliau) lebih memilih untuk berhenti kuliah dan mau menikah." Lanjut sang ibuk dengan mukanya yang berubah menjadi sendu. Mendengar ucapan ibu temanku itu membuat aku kaget luar biasa. Sebenarnya aku kaget bukan karena mendengar kata "berhenti kuliah" karena itu sudah hal yang biasa aku dengar. Akan tetapi, aku kaget disebabkan mendengar kata "menikah", hal yang akhir-akhir ini sedang viral wkwkw. Awalnya, aku mengira temanku itu sangat beruntung lahir dari keluarga yang finansialnya termasuk dalam kategori elit, tapi ternyata di balik semua itu ada keberuntungan yang tidak dia punya, yaitu kesadaran akan memperjuangkan pendidikan. Setelah mengatur ekspresiku yang masih kaget luar biasa, aku sedikit merenung memikirkan tentang betapa beruntungnya aku diberikan semangat oleh tuhan untuk selalu belajar dan juga lahir dari ibu yang selalu menyemangati aku untuk kuliah dan mengejar cita-cita. Sebelum aku datang ke rumah temanku, aku memang sempat berdiskusi dengan teman-teman perempuan yang lain tentang masa depan yang di dalamnya juga ada pembahasan tentang "pernikahan". Otakku belum bisa menjangkau hal itu sehingga aku sangat kaget mendengar temanku yang selama ini aku lihat sebagai perempuan yang mentalnya masih lemah dan membutuhkan dorongan orang lain tiba-tiba ingin menikah hanya karena tidak kuat kuliah. Rasanya tugas kuliah memang berat, tapi akan menjadi mudah ketika dijalani dan bukan cuma dipikirkan. Setelah aku tiba di kosku kembali, aku menghubungi ibuku dan mengucapkan terimakasih untuk semua jasa beliau. Terkadang, di dunia ini memang sesuatu itu terjadi secara selang seling. Ada yang anaknya semangat kuliah, akan tetapi orang tuanya tidak begitupun dan ada juga yang sebaliknya. Selain itu, ada juga yang dua sisi baik anak maupun orang tuanya sama-sama mendukung untuk melanjutkan sekolah. Semoga kita semua selalu diberikan kecintaan dalam menuntut ilmu aamiin.♡.

Monday, August 10, 2020

Pentingnya Self Improvement

Hal ini mungkin masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dipercaya. Beberapa minggu terakhir ini, aku selalu lebih suka untuk memikirkan hal-hal yang berbau masa depan. Mungkin kesannya memang lebay, but diakui tidaknya semakin bertambah hari, semakin pula hidup itu harus lebih serius. Dari bagian pemikiranku, self improvement/development adalah yang sering aku renungkan. What is self improvement? Menurut aku pribadi self improvement adalah sebuah usaha pengembangan diri. Menjadi seorang mahasiswa yang ternyata sudah menginjak semester tua memang benar-benar dituntut untuk selalu melakukan hal-hal yang bisa mengembangkan dirinya sendiri. Awalnya, aku memang berfikir kalau self improvement itu akan berjalan sesuai dengan kegiatanku sehari-hari. Akan tetapi, aku salah. Self improvement adalah salah satu hal yang harus direncanakan dan diperjuangkan. Ketika lingkungan kita hanya dikelilingi oleh orang-orang yang "haha hihi" (istilah yang aku buat sendiri buat orang yang kerjaannya cuma main), maka kita juga perlu untuk membuat benteng khusus diri kita sendiri. Main boleh, akan tetapi kita juga harus mengetahui batasan dan tetap menjaga proses supaya bisa meraih tujuan yang salah satunya adalah self improvement. Setiap orang mempunyai cara yang berbeda-beda. Ada yang dengan cara travelling, writing or reading. Aku pribadi juga mempunyai caraku sendiri. Setiap hari, aku harus bergelut dengan ego dan keinginan yang muncul dalam diriku untuk tidak selalu membuang-buat waktu. Aku juga sangat dan sangat ingin berterima kasih kepada tuhan karena dikelilingi oleh teman-teman yang membuat aku sadar kalau aku tetap harus melakukan pengembangan diri. Apa sejak awal aku sudah dikelilingi oleh teman-temanku itu? Jawabannya adalah tidak. Ada proses panjang yang harus kita lalui sampai akhirnya kita merasa cocok dan nyambung saat berbicara. Ketika kita berkumpul dengan teman-teman yang mempunyai target hidup yang jelas dan usahanya juga tidak nanggung-nanggung, maka tanpa kita sadari, kita juga ingin melakukan hal yang sama. Semakin tinggi target dan usahamu, semakin bagus juga kualitasmu. Selain itu, menjadi orang yang terbuka untuk menerima kritikan dan saran dari orang lain juga merupakan salah satu cara dari self improvement. Awalnya, aku adalah tipe orang yang gampang kesal setiap orang memberikan kritikan terhadap diri aku sendiri. Aku selalu bilang "it's my own business" sehingga aku selalu mengabaikan kritikan mereka. Padahal setelah aku sadar, aku sangat rugi pernah menjadi orang yang seperti itu. Seandainya dulu aku mendengarkan kritikan mereka, maka pasti di hari ini dan kedepannya aku bisa memperbaiki hal-hal yang kurang baik atau salah dari diriku sendiri. Belajar dari pengalaman itu, akhirnya setiap aku bercerita dengan teman-teman seputar kehidupan yang masyaAllah semakin hari semakin keras ini, aku selalu meminta kritikan mereka terhadap aku. Dari kritikan-kritikan itulah aku mulai mengembangkan hal-hal baru. Contoh kecilnya saja adalah saat temanku memberikan kritikan tentang aku yang selalu menjadi "manusia kamar". Sebelum akhirnya aku sadar, aku selalu membela diriku sendiri dengan alasan "karena aku punya cara pribadi untuk bersosialisasi dan mencari relasi". Padahal, sepintar-pintarnya orang juga masih butuh untuk selalu keluar kamar dan bergabung dengan orang-orang supaya tidak selalu merasa kalau prosesnya sudah baik. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dan mengobrol bersama pak Edi, owner basa-basi dan juga diva press di kafe barunya beliau. Obrolan itu lebih mengarah terhadap literasi. "Jangan selalu menjadi manusia kamar supaya tidak selalu merasa kalau tulisanmu sudah baik!" Dawuh beliau saat itu. Seratus persen aku sangat setuju dengan apa yang beliau nasihatkan. Ketika kita hanya menulis dan hanya menjadi manusia kamar, maka tidak akan jarang kita merasa kalau tulisan kita itu sudah baik. Padahal beribu-ribu orang penulis di luar sana yang ketika kita menemui dan membaca karyanya, maka di situlah kita bisa sadar kalau tulisan kita masih jauh dari kata bagus. Self improvement memang sangat penting karena once again, hidup itu harua serius!

Wednesday, August 5, 2020

Perempuan dan Hujatan

Banyak sekali kejadian/kabar yang aku terima selama minggu ini. Mulai dari kejadian yang menyenangkan, menyebalkan atau kedua-duanya. Dari beberapa kejadian/kabar itu semua, kabar pernikahan teman akulah yang paling sering aku terima. Hampir setiap haru aku menerima undangan yang dikirimkan lewat chat, akan tetapi apalah dayaku yang sedang jauh dari kampung halaman. Aku ikut berbahagia setiap mendapatkan undangan pernikahan temanku itu karena berarti sebentar lagi mereka sudah akan resmu menjadi seorang istri atau suami. Tanpa aku sadari, semakin banyak temanku yang tunangan atau menikah, semakin banyak pula hujatan yang aku terima😂. Hahaha, sudah bukan rahasia umum lagi kalau masih banyak orang-orang yang beranggapan kalau seorang perempuan yang sudah berumur dua puluh ke atas belum tunangan atau menikah, maka mereka termasuk golongan perempuan yang tidak laku. "Untuk apa kuliah? Toh nanti juga pasti jadi ibu rumah tangga." Ucap seseorang yang aku dengar saat keberangkatanku pertama kali ke rantauan. Terkadang, ada perasaan kesal yang ingin aku keluarkan, tapi semakin ke sini aku semakin sadar kalau meladeni hujatan mereka itu sama saja berbicara dengan batu. Aku belum bisa memaklumi saat ada orang yang menghujat perempuan-perempuan yang belum menikah. Dengan sangat jujur, aku bingung alasan mereka yang ingin cepat-cepat melihat tetangganya menikah. Apa itu karena mereka ingin menghadiri pesta pernikahan dan makan enak? Wkwkwkw Tunangan atau menikah itu tidak mudah setelah aku mendengar cerita teman-teman yang sudah ada di posisi itu. Mereka harus terikat dengan peraturan yang lebih luas, keberagaman yang lebih banyak dari sebelumnya dll. Akan tetapi, buat kalian yang sudah siap😂ya monggo. Toh itu hak semua orang☺. Sebenarnya apa sih inti dari tulisan ini? Wkwja Inti dari tulisan ini yang sebenarnya adalah jangan gampang menyebut orang tidak laku. Mereka mempunyai alasan tersendiri kenapa mereka tidak mau segera tunangan atau menikah. Mungkin diantara pembaca ada yang sudah tunangan atau menikah. Aku kagum sama kalian karena kalian sudah benar-benar berani untuk melangkah menuju kehidupan yang jauh lebih serius. Sedangkan buat pembaca yang Jombs wkwkwkw, kalian bisa berjalan dengan keputusan kalian masing-masing. Jika alasan kalian jombz adalah untuk meraih cita-cita, monggo! Silahkan kalian terbang dan terus semangat dalam berjuang. Kebahagiaan tidak hanya tentang pasangan. Apa tulisan ini hanya sebagai bentuk pembelaan penulis yang jombs? Wkwkw Oh tidak, sama sekali tidak benar. Tulisan ini murni muncul karena ide yang ada di dalam pikiran dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan pribadi penulis wkwkwwk.