Sunday, September 27, 2020

Suka Duka Dunia Organisasi

     Memasuki masa penerimaan mahasiswa baru tentu menurut orang-orang peran seorang kakak tingkat atau yang biasa disingkat dengan kating sangatlah penting terutama ketika disangkut pautkan dengan organisasi. Sebagai seorang kakak tingkat eaaaaakkk🤣yang sering mendapat pertanyaan dari para maba yang imut-imut tentang apakah mereka cocok ikut organisasi atau hanya menjadi mahasiswa kupu-kupu membuat aku menjelaskan kali lebar kepada mereka tentang suka duka di organisasi. 
     Sebenarnya, salah satu hal yang membuat aku heran adalah kenapa mahasiswa kupu-kupu selalu dikonotasikan negatif? Dari sekian banyak temanku yang tidak organisasi, beberapa di antara mereka bahkan jauh lebih produktif dan tidak seperti pemikiran orang-orang tentang mahasiswa kupu-kupu pada umumnya yang kerjaannya hanya di kampus-rumah/kos dan berujung dengan rebahan. Para kakak tingkat yang sudah kece badai mulai mencari cara bagaimana mereka bisa mengajak adek tingkat untuk bergabung dengan organisasi karena hal tersebut memang sudah kewajiban dan juga mewadahi para maba yang tertarik dengan dunia organisasi. Namun, kembali lagi kepada keputusan para maba karena mereka memiliki hak penuh untuk mendaftar atau tidak di sebuah organisasi. 
      Sebagai mahasiswa basi yang sedikit mengalami beberapa kejadian suka duka menjadi anak organisasi, aku ingin sedikit bercerita tentang apa saja suka dukaku selama menjadi mahasiswa terutama ketika berada di organisasi.
      
      
  Bisa mengenal dan akrab dengan kakak tingkat atau teman lintas jurusan sampai dengan lintas fakultas merupakan salah satu hal yang aku syukuri karena ikut organisasi. Selain itu, liburan semester dan hari weekendku bisa bermanfaat ketika ada acara di organisasi sehingga aku tidak hanya gulang guling tidak jelas di dalam kos.
    Selanjutnya adalah ikut organisasi membuat aku merasakan hal-hal kecil sampai besar yang sebelumnya belum pernah aku rasakan seperti mengikuti acara di luar Jogja, menginap di sebuah penginapan yang salah satu fasilitasnya adalah ranjang susun karena sejak kecil, aku sudah ingin tahu rasanya tidur di ranjang susun sampai dengan menjadi panitia lomba nasional sehingga memperluas relasi.
.   Setelah berkenalan dengan hal-hal suka di dalam pengalamanku menjadi anggota organisasi, marilah kita lanjutkan dengan hal-hal duka atau lebih tepatnya resiko yang harus berani kita ambil. Resiko yang pertama adalah sebagai anak organisasi, Kita harus pintar-pintar dalam mengatur waktu. Sejak dulu, aku selalu menanamkan prinsip supaya organisasi tidak mengganggu kuliah. Hal itu tidak sulit untuk dilakukan bahkan organisasi bisa menunjang akademikku yang salah satunya adalah semakin membuatku percaya diri untuk berdiri di depan teman-teman ketika presentasi mata kuliah.
.   Yang kedua sekaligus yang terakhir adalah harus berani berkomitmen dan mengemban amanah dengan baik serta siap untuk merasa lelah dan menhan kantuk walaupun sebenarnya kita sering kali tidak percaya terhadap diri sendiri. Selain itu, hal terbesar yang membuat aku lupa akan hal-hal duka adalah bertambahnya pengalaman ketika ikut organisasi, and I would like to say that I am nothing without my organization.
     Once again, setiap orang mempunyai hak atas pilihannya masing-masing terutama tentang apa yang akan mereka ikuti dan tidak. So, define your own success. 
Selamat berjuang everyone😁.
     

Thursday, September 24, 2020

Drama Lawas KRS

     Selama menjadi seorang mahasiswa, memasuki semester Lima di fakultasku merupakan masa di mana mahasiswa dipenuhi dengan hal-hal krusial yang salah satu contohnya adalah ketika masa input kartu rencana studi atau yang lebih dikenal dengan KRS. Seandainya KRS bisa diinput secara offline, mungkin hal itu tidak akan membuat jantung menjadi copot. Namun, di zaman yang sudah modern dan serba digital ini ditambah dengan pandemi, maka KRS harus diinput secara online oleh mahasiswa dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh kampus.
     Jadwal penginputan KRS memang cukup lama sekitar empat sampai lima jam, akan tetapi jika kita menginput KRS di detik-detik berakhirnya jadwal, maka aku jamin kalau mata kuliah sudah banyak yang penuh terutama mata kuliah pilihan.
     Karena sudah sering mendengar cerita horor kating dan teman-teman tentang drama KRS, maka H-29 jadwal input KRS prodiku, aku sudah mulai menghubungi kating dan teman-teman untuk bertanya cara menginput KRS dengan baik dan tentunya mendapat kelas yang diinginkan. Semua orang yang menjadi korban pertanyaanku sangat sabar menjelaskan rahasia-rahasia jitu yang bisa aku pakai supaya lancar menginput KRS.
      Selain sistemnya yang "siapa cepat dia yang dapat", salah satu kendala input KRS adalah jaringan yang suka tidak bersahabat lebih-lebih apabila sedang padam listrik. Walaupun begitu, banyak pembelajaran dan tips yang aku dapatkan selama persiapan menginput KRS.
      Pertama, sebelum hari H input KRS, pastikan kalau kita sudah menyusun jadwal sesuai jam dan kelas yang kita inginkan. Sebenarnya, kita bisa skip tips ini selama paham kelas dan dosen yang mengampuh setiap mata kuliah.
      Kedua, jangan pernah sungkan untuk bertanya kepada dosen penasihat akademik atau TU jika kita masih bingung atau ada hal-hal di akun akademik kita yang tidak sesuai dengan punya yang lain. Sebelum hari input KRS tiba, aku juga meminta teman-teman untuk menjelaskan semua tentang KRS. Namun, aku juga memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada dosen atau TU karena terkadang sebelum menginput KRS, kita harus mengikuti langkah yang lain. 
      Ketiga, jangan pernah sungkan untuk konsultasi bersama kating atau teman-teman kita yang sebelumnya sudah berpengalaman dalam menginput KRS. Selain konsultasi tentang KRS, aku juga konsultasi tentang mata kuliah yang akan aku ambil karena bagaimanapun, mata kuliah adalah hal yang paling penting Kita siapkan sebelum masuk kuliah.
     Tips yang terakhir adalah pastikan kalau jaringan kita aman. Berdasarkan pengalaman beberapa temanku, kita juga bisa memakai dua atau tiga HP untuk mengisi KRS karena terkadang, jika sistem akademik eror di HP yang satu, maka masih ada kemungkinan lancar di HP yang lain.
     Walaupun input KRS sangat penting, jangan sampai KRS membuat kita renggang bersama teman-teman kita loh yaa! Karena walaupun sistem KRS adalah rebutan, jangan pelit-pelit untuk menyebalkan atau menjelaskan informasi KRS kepada teman-teman yang belum paham.

        

Wednesday, September 16, 2020

Kang Adi dan Lengkong Press

   Diam di kos dan berteman dengan semut-semut yang entah keluar dari mana membuat aku sangat senang ketika salah satu senior mau mengajakku bertemu dengan pak Edi Ah Iyubenu di kafe barunya beliau yang lokasinya tidak jauh dari kos.
    Sebagai mahasiswa rantauan dan penghuni kos an yang belum memiliki motor membuat senior yang biasa aku panggil dengan kang Adi harus menjemputku terlebih dahulu ke kos.
    Kang Adi adalah senior bersejarah urutan kedua setelah Michael yang berhasil mengajakku bertemu dengan teman-teman alumni pesantren yang lain.      Aku menganggap hal itu sebagai suatu sejarah mengingat bagaimana sifatku dulu yang masih sangat malas untuk bertemu dengan orang banyak disebabkan sifat malu.
    Kang Adi juga berasal dari Madura, lebih tepatnya beberapa kilometer dari pesantren dimana aku pernah menuntut ilmu. Lengkong, sebuah desa yang tidak asing aku dengar namanya karena beberapa temanku juga berasal dari sana sekaligus juga desa kang Adi.
    Setelah sampai di kafe pak Edi, aku dan kang Adi harus menunggu beliau sekitar dua jam karena pak Edi masih ada di kafenya yang lain. Karena kami juga tidak sedang buru-buru, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu beliau sambil mengobrol ditemani oleh secangkir teh milikku dan secangkir kopi milik kang Adi.
"Aku sangat suka dan penasaran cara berbisnis seperti pak Edi Yul."
"Kalau aku sih lebih penasaran sama literasinya pak Edi kang."
"Iya, itu juga bagus. Aku sampek pernah nge design logo buat bisnisku loh." Kata kang Adi sambil menunjukkan logo berwarna merah maroon dengan tulisan "Lengkong Press" di bawahnya.
    Tanpa diberitahu pun, aku tahu kalau kata Lengkong itu diambil dari nama desanya kang Adi sendiri. Aku tersenyum bangga melihat logo itu dan entah kenapa aku bilang terhadap diriku sendiri kalau kang Adi pasti bisa menjadi orang dengan bisnisnya yang sukses.
    Aku belum bisa meniru kang Adi yang penuh dengan keunikan itu karena dari jiwa bisnis saja, aku belum mempunyai ketertarikan terhadap hal tersebut. Namun, berkali-kali aku juga bilang kepada diriku sendiri that we can shine with our own ways.
"Kenapa tidak berbisnis di Madura saja kang?" tanyaku kepada kang Adi yang baru saja menyeruput kopi di depannya.
"Doakan saja Yul." Jawab kang Adi tersenyum sambil memperbaiki kacamatanya.
    Aku punya banyak teman yang memang mendalami dunia bisnis, akan tetapi hanya beberapa di antara mereka lah yang berani mengembangkan bisnisnya dengan cara yang unik, membuat logo misalnya.
    Kurang lebih satu bulan setelah obrolan kami malam itu, aku tidak bertemu dengan kang Adi karena pulang kampung. Ketika sedang menscroll beranda Facebook, tiba-tiba ada satu notifikasi yang berhasil membuat aku kaget. 
Lengkong Press mengundang anda untuk menyukai tautannya.
    Begitulah kira-kira isi notifikasi yang tanpa menunggu waktu segera aku klik tombol like. Aku tersenyum sekaligus bangga karena ternyata Lengkong Press milik kang Adi sudah mempunyai akun sosmed bahkan bergabung di toko online.      Progress seperti itu menjadi bukti bahwa kang Adi memang berkomitmen untuk mengembangkan bisnisnya dan bukan hanya sebagai hobi. 
"Kang, nanti aku bikin tulisan ya soal kang Adi dan Lengkong Press." Kataku lewat chat yang ku kirimkan setelah melihat story nya di sosmed sehingga muncullah tulisan yang sedang kalian baca ini tentang bagaimana uniknya cara kang Adi dalam berbisnis sehingga berkembang dengan pesat. 
    Hasil memang tidak akan pernah mengkhianati proses dan orang pintar akan kalah terhadap orang yang tekun. Proud of you Kang. Mantap.

Monday, September 14, 2020

Mengelilingi Kota yang Sesungguhnya

     Setelah sekian lama tidak sowan ke pengasuh pesantren dimana dulu aku menuntut ilmu, di weekend kemarin emmak mengajakku untuk pergi sowan bersama-sama. 
     Ketika emmak mengajakku untuk pergi sowan tepat saat H-3, aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan pengasuh dan juga teman-teman di pesantren.
    "Nanti kita mampir ke kota dulu Yuk sebelum berangkat dan pulangnya juga mampir ke sana karena emmak mau membeli kacamata." Kata emmak sambil mengingat kacamatanya yang rusak karena jatuh.
    Mendengar kata kota membuat aku diliputi perasaan khawatir yang luar biasa. Selama 20 tahun menjadi warga kabupaten Sumenep, aku tidak pernah hafal jalan kota walaupun sebenarnya jalan kota di kampung halamanku tidak seribet dengan jalan kota-kota besar.
    "Tapi, emmak tahu kan jalan ke toko yang emmak tuju?"
    "Iya tahu. Nanti emmak tunjukkan." 
    Aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan khawatir tersesat ketika sudah berangkat nanti walaupun emmak lebih hafal jalan menuju kota.
    Pagi-pagi sekali aku dan emmak sudah berangkat karena perjalanan dari rumah ke pesantren harus ditempuh kurang lebih selama dua jam ditambah dengan mampir ke toko yang ingin emmak datangi.
   "Dimana tokonya emmak?".
   "Sebentar Yul. Kita berhenti dulu."
Hmmmm
    Perasaan khawatirku menjadi kenyataan, ternyata emmak juga sedikit lupa jalan kota. Aku menatap emmak dan mulailah emmak tertawa melihat mukaku yang sudah mulai tidak enak untuk dipandang. 
    Setelah bertanya kepada orang-orang di pinggir jalan, emmak berhasil menemukan tokonya dan kami segera berangkat menuju pesantren.
   Selama perjalanan ke pesantren, emmak selalu bilang kalau ia sangat senang karena akhirnya bisa membeli sesuatu yang sudah sangat ia inginkan sejak lama, yaitu minyak pijat. 
   Emmak memang sangat suka membeli minyak pijat karena pijatannya yang sangat enak membuat orang-orang selalu memintanya untuk memijat mereka. 
  "Memangnya di pasar dekat rumah tidak menjual minyak kayak gitu po mak?"
   "Ada kok, tapi harganya lebih mahal. Kalau di kota 150 ribu perbotol, tapi kalau di rumah 151 ribu."
   "Ya Allah. Mending beli di rumah aja mak dari pada harus berkeliling di kota kayak tadi." Ucapku dalam hati melihat emmak dari kaca spion motor yang dibalas dengan senyuman usil oleh emmak.
    Emmak memang sangat suka membeli sesuatu yang lebih murah dengan syarat kualitasnya juga sama-sama bagus walaupun lokasinya sangat jauh. 
     Kapan aku bisa meniru emmak yang sangat hemat ya rabb?
     Suasana pesantren memang sangat berbeda dengan suasana di luar. Banyak hal yang aku dapatkan termasuk kedamaian. 
    "Ehh ada mbak Yuli dan ibunya. Bagaimana kabarnya?" Dawuh ny.Fadhilah yang merupakan pengasuh pesantren.
    Emmak memang akrab dengan beliau bahkan ketika aku sowan sendirian pasti ny.Fadhilah tetap menanyakan kabar emmak.
    "Mbak Yuli nginap di sini ya. Nanti mengajar anak-anak Engenia di sini." Lanjut beliau.
    Aku hanya tersenyum bahagia dan menjawab dengan kata insyaAllah karena sebenarnya, aku juga sangat ingin menginap di pesantren. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri untukku ketika diberikan kepercayaan oleh pengasuh sendiri.
    "Bagaimana Yuli, nulis nggak?" Dawuh K.Naqib yang baru selesai menemui tamunya.
Deggggg
"Iya ustad. Insya Allah istiqamah nulis."
"Bagus. Nanti kirim ke sini ya."
     Ingin rasanya aku berteriak kegirangan ketika mulai menemukan semangat untuk menulis kembali hanya karena pertanyaan dan semangat dari pengasuh pesantren.
    Literasi di pesantren memang belum banyak dikenal masyarakat karena medianya masih terbatas. Namun, soal skill menulis mereka tidak usah diragukan lagi. 
   Setelah sowan ke pengasuh (ny.Fadhilah&K.Naqib), aku tidak lupa untuk mampir ke teman-teman yang masih tinggal di pesantren.
    Beberapa di antara mereka sudah ada yang menjadi pengurus pesantren.
    "Syukurin. Suruh siapa dulu sering melawan pengurus, endingnya kena karma lo dan menjadi pengurus." Ledekku melihat mereka yang baru selesai bercerita tentang suka duka menjadi seorang pengurus.
    "Heleh...dulu, kamu juga lebih parah dari kita kok, cuma kebetulan kamu kuliah di luar mangkanya tidak mendapat karma dari pengurus." Jawab mereka tidak mau kalah.
Ambyarr rekk😂🤣.
    Emmak memandangku dengan ekspresi yang menuntut penjelasan karena aku baru ingat kalau emmak baru mengetahui sisi aku yang pernah menjadi ketua geng pelawan pengurus waktu di pesantren😂.
    "Dulu, Yuli sering melanggar peraturan mak, tapi semua itu dia lakukan karena membela club bahasa Inggrisnya (Engenia) yang selalu dipandang sebelah mata oleh pengurus." Ujar Lia yang tidak lain teman kelas sekaligus teman di pesantren. 
    Aku mulai bisa bernafas dengan lega karena akhirnya bully an mereka berakhir dengan pembelaan😂.
"Jangan lupa belok kiri."
"Jangan lupa belok kanan."
"Lurus saja."
     Emmak masih setia menunjukkan jalan menuju pasar kota dimana ia mau membeli jamu kesukaannya. Selain tidak hafal jalan kota, salah satu sisi kelemahanku adalah tidak bisa mengetahui arah mata angin ketika pergi kemana-mana termasuk Sumenep kota sehingga emmak selalu memakai kata kanan dan kiri ketika menunjukkan jalan.

Wednesday, September 9, 2020

Muda dan Dewasa

     Beberapa hari yang lalu tepatnya setelah salat Isya' aku menghubungi sahabatku yang sedang ada di Jogja lewat telfon seluler supaya tidak terganggu oleh jaringan jika menggunakan WA atau pun IG dan aplikasi lainnya. 
    Baik aku ataupun sahabatku sama-sama jarang mengirim pesan satu sama lain kecuali ada hal yang ingin didiskusikan ataupun dicurhatkan. 
     Waktu itu, aku menghubunginya karena memang ingin menumpahkan segala sesuatu yang di dalam pikiranku selama seharian. Aku mulai bercerita mulai dari A sampai Z dan sahabatku yang biasa aku panggil dengan Ifan itu hanya setia menyimak. 
     Di hari itu, aku disuruh oleh ibuku untuk menghadiri acara walimatul akikah di rumah kerabat jauh. Selama ada di rumah, aku memang sedang melakukan puasa dari mendengar atau membaca masalah yang sedang terjadi di negara dan juga lingkungan sekitar. Ketika aku sudah berkumpul bersama orang-orang yang juga kondangan ke tempat yang sama, puasa yang aku lakukan mulai batal.                Sudah bukan merupakan rahasia lagi ketika ada ibu-ibu sedang duduk bersama, maka gosiplah yang mayoritas mereka lakukan. Seorang perempuan yang duduk tidak jauh dari tempatku bercerita tentang masalahnya yang sedang tidak akur bersama tetangganya sendiri akrena beberapa hal. Perempuan yang lain juga bercerita tentang bagaimana suami mereka mulai sering keluyuran kemana-mana. Penyebab utama dari masalah yang mereka ceritakan adalah karena kesalahan dalam menggunakan media sosial. 
    Aku memang sudah tidak heran jika hal itu yang merupakan penyebabnya karena di zaman sekarang ini, semua orang baik yang tua atau muda, miskin atau kaya, sekolah atau pengangguran sama-sama mengoperasikan yang namanya media sosial. Sesuatu yang berbeda dari semua itu hanya lah bagaimana mereka pintar-pintar memanfaatkan media sosialnya masing-masing. 
    Salah satu contoh dari orang yang bisa mendapat atau membuat masalah dari media sosial adalah ketika mereka tidak bisa menyaring hal-hal yang akan mereka publikasikan kepada media sosial dan tidak.
    Mungkin memang banyak alasan dari mereka yang memposting salah satu privasi mereka ke dunia maya adalah karena mereka merasa ada yang peduli dengan mendapatkannya komen di kolom komentar. Namun, setidaknya menjadi pelajaran untukku pribadi yang memang pernah menjadi bagian dari orang yang selalu memposting segala sesuatu ke media sosial untuk melakukan taubat nasuha dari semua itu :). 
    Setelah mendengar cerita dari para ibu-ibu itu, otakku mulai tidak berhenti berpikir tentang masa depan. Aku menjadi takut bagaimana jika aku menjadi bagian dari orang-orang yang tidak bisa menggunakan media sosial yang baik, bagaimana jika kerjaanku cuma bisa bergosip bahkan sampai bagaimana menjadi perempuan yang memang pintar membangun batasan. 
    "Bukan media sosialnya yang salah, tapi usernya yang belum sadar." Kata Ifan setelah aku menumpahkan semua isi di dalam pikiranku. 
     Aku sangat setuju dengan perkataan Ifan itu karena bagaimanapun juga, media sosial dan segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai dampak positif dan juga negatif masing-masing. 
    "Si A suka ngomongin orang." Kata seorang perempuan di hari berikutnya ketika aku secara tidak sengaja bertemu dengannya di toko sayur. 
     Aku hanya tertawa geli mendengar omongan perempuan itu karena dia tidak sadar kalau dirinya sendiri juga sedang menggosipkan orang.:) 
 Dunia memang penuh dengan orang-orang yang kadang tidak menyadari sifat dan perilakunya sendiri.

Sunday, September 6, 2020

Perempuan Berkulit Hitam, Itulah Aku.

    Seperti biasa, setiap liburan semester aku lebih memilih untuk pulang kampung dari pada tinggal di kos walaupun banyak orang yang bilang kalau diam di kos an jauh lebih menyenangkan. Namun, aku tetap saja lebih suka untuk pulang Dan menghabiskan makanan, eh maksudnya adalah menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah😂.
    Liburan semester ini, aku melihat ibu membeli beras dengan jumlah yang sangat banyak.
    "Buat Apa toh buk beras sebanyak itu? Kan masih ada hasil panen padi kemarin?" tanyaku pada ibu yang sedang menarik berasnya untuk dibawa ke dalam dapur.
    "Buat apa lagi kalau bukan buat dibawa ke kondangan Yul." Jawab ibu diakhiri dengan menyebut namaku secara tidak lengkap karena namaku adalah "Yuli" bukan "Yul". Namun, entah kenapa orang-orang sangat suka memanggilku dengan Yul.
    Sangat tidak enak untuk didengar ketika mereka memanggil namaku dengan diawali kata "begitu" sebelum "Yul" sehingga menjadi "begitu Yul"☹️ dan hal itu adalah salah satu sebab kenapa aku selalu menegur orang-orang ketika memanggil namaku secara tidak benar.
    Ibu masih berdiri sambil menghitung jumlah beras yang beliau beli. Aku mulai merasakan sesuatu yang tidak enak akan segera terjadi dan hal itu benar-benar menjadi kenyataan ketika ibu bilang "besok dan seterusnya kalau kamu lagi ada waktu luang, kamu wakilin ibu pergi ke kondangan ya Yul karena ibu harus mengerjakan pekerjaan yang lain."
Modyarrrrrr
    Aku masih belum menjawab perkataan ibu dan ternyata ibu menganggap aku sudah menerima permintaannya. Sebenarnya, pergi ke kondangan adalah hal yang bisa saja aku lakukan dengan senang hati, akan tetapi yang tidak aku suka adalah ketika harus berdandan yang menurut aku sangat berlebihan sebelum berangkat ke kondangan.
    Beberapa kondangan berhasil aku datangi dengan lapang dada walaupun aku harus melawan jiwa rebahanku demi menjalankan perintah ibu eakkkkk. Beberapa hari yang lalu, aku kembali pergi ke kondangan bersama bibiku ke salah satu rumah kerabat jauh. Setibanya di sana, tidak semua orang aku kenal karena  aku memang sangat jarang berkunjung ke rumah itu kecuali hari raya. 
    Setelah aku duduk di salah satu sudut depan rumah milik tuan rumah acara tersebut, aku melihat seorang perempuan yang tidak asing di ingatanku. Selama beberapa menit, aku terus berusaha mengingat dimana aku pernah mengenal perempuan itu. Dia juga menatapku dan aku segera mengalihkan perhatian.
    "Kapan pulang dari Jogja Yul?" Tanya perempuan itu yang sampai saat ini belum ku ketahui namanya karena dia menyapaku tanpa sesi perkenalan terlebih dahulu.
     Setelah mengobrol cukup lama, aku baru bisa mengingat kalau perempuan itu ternyata adalah orang yang pernah mengaji di tempat yang sama denganku sekaligus orang yang selalu mengejekku karena kulitku yang hitam dan bajuku yang selalu Kotor disebabkan memanjat pohon buah kersen.
     Waktu kecil, kulitku memang hitam bahkan masih tetap sampai sekarang. Selain itu, mukaku juga sangat tidak enak dipandang karena aku sangat jarang memakai bedak ditambah dengan sifatku yang judes setiap melihat orang yang memandangku dengan tatapan aneh.
    Perempuan itu tetap duduk di sampingku sambil menggendong seorang anak perempuan yang ternyata adalah anaknya. Aku tertawa geli di dalam hati ketika ingat bagaimana dulu dia selalu mengejekku dan menjauhiku. Dia tetap melihatku yang sedang fokus bermain HP. Aku tidak heran kenapa memandangku dengan sangat lama karena waktu itu aku memakai bedak dan lipstik yang berbeda dari biasanya dan juga jilbab yang meniru gaya kekinian.
    Penampilanku waktu itu murni bukan keinginanku, akan tetapi karena bibi dan juga ibu yang selalu bilang kalau aku harus berdandan setiap akan pergi ke kondangan walaupun sebenarnya aku selalu menggaruk wajahku yang sangat aneh ketika dipolesi dengan bedak yang berlebihan. Namun, berkat semua itu, ternyata orang yang dulu mengejekku mulai menyapa tanpa ku sapa duluan.🤣




Tuesday, September 1, 2020

Cerita Malam di Surau Kami

     Salah satu kebiasaan yang paling nikmat setelah shalat Isya' adalah tidur di mushalla milik nenek moyangku (mushalla itu memang sudah didirikan sejak lama) yang terletak di depan rumah.  
    Aku tidur dengan memakai mukenah karena entah kenapa tidur dengan mukenah itu jauh lebih menghangatkan dari pada memakai selimut padahal katanya hal itu tidak baik. 
    Di suatu malam, aku kembali mengulangi kebiasaanku itu karena kebetulan tv ku sedang rusak sehingga aku lebih memilih untuk menemani ibu yang masih mengaji Al-Qur'an di mushalla dan tertidur. 
    Sebelum tidur, aku meminta tolong kepada ibu supaya membangunkanku setelah selesai mengaji karena aku ingin mengerjakan tugas yang belum sempat terselesaikan.
     Aku terbangun dari tidurku yang sangat nyenyak bukan karena dibangunkan oleh ibu, akan tetapi karena ternyata di sekelilingku sudah ada tetangga yang kebetulan sedang bermain ke rumah.
    "Aku juga heran, kenapa harga tembakau sekarang sangat murah?" ucap seorang bapak yang biasa aku panggil dengan paman Asip. 
     Sebenarnya, dia memang bukan pamanku, akan tetapi salah satu hal yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Madura adalah sopan santun sehingga tidak boleh memanggil seseorang yang lebih tua dari kita hanya dengan namanya saja.
    Saat ini, beberapa masyarakat pulau Madura memang sedang menanam tembakau atau lebih tepatnya sudah proses memanen. Orang-orang mulai sibuk menjual tembakau mereka dan hasil yang mereka dapat sangat jauh dari apa yang mereka ekspektasikan. 
   Keluargaku adalah petani sehingga aku sangat tahu bagaimana perjuangan mereka untuk menanam tembakau. Setiap selesai shalat Subuh, mereka sudah berangkat ke ladang atau sawah untuk menyiram tembakau. Mereka  rela melawan terik matahari hanya untuk memberi pupuk atau mencari ulat di pohon tembakau. 
    Uang hasil penjualan tembakau adalah harapan terbesar seorang petani. Lantas bagaimana jika harga tembakau saja sangat murah?
   Aku melihat muka paman Asip yang bercerita tentang tembakaunya yang terjual dengan harga satu juta enam ratus ribu. Aku sangat kaget mendengar cerita tersebut karena aku sangat tahu dengan kualitas tembakaunya yang ditanam tidak jauh dari rumahku. 
    Beberapa hari yang lalu, aku juga membaca berita dari HP ku tentang harga tembakau di tahun 2020 ini khususnya di pulau Madura. 
     Harga tembakau tahun ini turun sebanyak lima puluh persen dari biasanya sehingga bisa juga dikatakan kalau petani mengalami kerugian sebanyak itu juga.         Aku memang tidak begitu mendalami tentang kriteria tembakau yang murah dan mahal, akan tetapi aku juga merasa sakit hati setiap melihat petani yang harus mengalami kerugian yang banyak hanya karena tembakaunya terjual dengan harga murah.
   Sambil mengumpulkan kesadaranku yang belum sempurna karena baru bangun tidur, ada pertanyaan yang ternyata tiba-tiba muncul di dalam benakku.
  Kenapa harga tembakau selalu murah? Sedangkan penikmat rokok selalu meningkat
    Ya, pertanyaan itu yang sampai saat ini masih aku ingat dan belum ku temukan jawabannya. Semoga nanti tanpa menunggu waktu yang lama lagi, para petani bisa merdeka dan jerih payah mereka tidak sia-sia.
    Aku bangga terlahir dari keluarga yang berprofesi sebagai petani.