Wednesday, April 21, 2021

Tangisan Ibu

    Menangis bukan berarti lemah dan begitulah dengan ibu. Menjadi anak semata wayangnya sering kali membuat ibu menangis baik karena waktu aku kecelakaan sampai tidak bisa dihubungi ketika sedang di Jogja disebabkan hp lowbat. Ibu juga menangis setiap Malam Jumat ketika kami mengunjungi makam kakek nenek yang tidak lain merupakan orang tua ibu. Aku bisa memahami perasaan ibu waktu itu walaupun mungkin pemahamanku belum bisa mewakili semua perasaannya yang bercampur aduk.
    Aku menyaksikan ibu menangis ketika aku mulai naik ke atas bis waktu pertama kali berangkat ke Jogja. Ibu memang segera mengusap air matanya, tetapi aku bisa melihat kedua matanya yang basah.        Aku juga melihat ibu menangis ketika aku divonis penyakit kanker dan akan segera dioperasi. Ibu segera menghujani mukaku dengan ciuman manisnya dan juga air matanya yang menetes di dahiku.       Tangisan terakhir ibu yang ku lihat beberapa minggu ini adalah ketika ibu sudah sadar sehabis operasi penyakit gondok.
     Waktu itu, aku baru beberapa minggu tiba di rumah dan ibu memutuskan untuk operasi secepat mungkin karena ingin puasa di bulan Ramadhan dan operasi ditemaniku. Setelah melalui beberapa proses sekitar dua hari, aku ditemani mbak sepupu serta ibu mulai masuk ke ruang pemeriksaan. 
    Melihat tangan ibu ditancap jarum infus membuat aku tidak kuasa menahan sakit yang juga aku rasakan hingga aku terjatuh pingsan. Aku mengutuk kecerobohanku waktu itu karena aku hanya ingin menemani semua proses operasi ibu.
Setelah tiba di ruang bedah yang lumayan luas untuk ukuran kamarku yang hanya sepetak, akhirnya aku berhasil menemani ibu setelah dilarang berkali-kali oleh sepupu karena takut jika terjatuh pingsan kembali. Muka ibu tidak menunjukkan perasaan takut sama sekali justru Malam itu, ibu menghiburku yang sedang mumet dengan tugas kampus.
     Tepat hari Jumat jam dua siang, ibu tiba kembali di ruang rawat dalam keadaan belum sadar total setelah diberi obat bius. Sambil melihat perban di leher ibu dan menge check air infus ibu yang terkadang tidak mengalir dan terlalu lambat, aku mulai dihantui perasaan takut yang luar biasa. 
     Sebelum ibu operasi, aku memang searching beberapa dampak negatif dari operasi penyakit gondok tersebut dan salah satu dampak negatif yang ku temukan adalah hilangnya suara untuk sementara. Aku tidak sanggup jika sehari saja tidak mendengar suara ibu. Setelah ibu sadar, aku segera memanggil perawat untuk men check keadaan ibu. Dengan pelan, aku menyapa ibu dan bertanya apakah luka perban di lehernya terasa sakit.
     Dengan suaranya yang sangat lirih sampai aku harus mendekatkan telinga ke samping mulutnya, ibu menjawab pertanyaanku bahwa lukanya masih tidak terasa sakit. Selang beberapa menit setelah itu, ibu mulai meneteskan air matanya walaupun tidak mengatakan bahwa lukanya sakit. Setelah ku paksa untuk mengaku apakah lukanya terasa sakit, ibu mulai cerita bahwa lukanya sangat sakit seperti habis diiris pisau. 
Melihat ibu menangis, aku menggigit bibir dalamku dengan sangat keras supaya tidak ikut menangis karena aku tidak mau terlihat sedih di depan ibu sebagaimana ibu yang selalu terlihat bahagia di depanku. 
     Berkali-kali, aku mendatangi ruang perawat supaya bisa memberi resep obat penghilang sakit buat ibu, tetapi berkali-kali juga aku mendapatkan jawaban yang sama,yaitu obatnya akan diberikan ketika jamnya karena setiap obat memiliki jamnya masing-masing. Waktu itu, ingin rasanya aku memarahi semua perawat di rumah sakit tersebut, tetapi again, aku hanyalah anak dari pasien dan tidak mempunyai hak apa-apa untuk protes.
     Berbagai cara aku lakukan untuk membantu ibu merasa mendingan mulai dari mengusap lukanya dengan pelan, mengipasnya dengan kipas kecil karena ibu tidak suka angin, sampai ku pijat daerah lehernya dengan sangat pelan. 
Setelah beberapa jam, aku merasa duniaku seketika lega waktu melihat ibu mulai tertidur sambil mendengkur halus.         Aku menangis di samping ibu ketika semua orang tertidur terutama ibu. Aku menangisi diriku sendiri yang belum mampu untuk membantu ibu walaupun hanya untuk menghilangkan rasa sakit di lehernya. Aku menangis karena ternyata selama ini, ibu benar-benar mengabaikan dirinya sendiri hanya demi aku. 
Aku sangat mengagumi ibu karena ibu merupakan perempuan terkuat dalam menghadapi semua badai. Aku sangat mengagumi ibu karena aku belajar banyak hal dari ibu.


Ibu, tetaplah tersenyum untuk dunia kita berdua.

No comments:

Post a Comment