Saturday, December 18, 2021

Air Mata Desember

    Tepat satu minggu  yang lalu, duniaku berputar tidak karuan. Semuanya menjadi menyeramkan dan yang aku takutkan hanyalah satu, perihal kehilangan. 
    Kalau boleh jujur, bulan Desember adalah bulan yang unpredictable. Dimulai dari masalah abu-abu bersama seorang sahabatku hingga akhirnya seorang teman menyadarkanku bahwa sahabat yang baik akan menjaga komunikasi bukan memperumit keadaan. Sejak itulah saya sudah tidak lagi menangis ketika melihat foto kami bertiga bahkan foto yang saya pajang di kamar kos sengaja saya putar balik supaya saya tidak menangis seperti orang gila. Benar, kehilangan sahabat memang menyakitkan. 
    Setelah drama persahabatan, saya kembali dilanda sakit hati yang luar biasa. Bagaimana tidak, seorang laki-laki yang saya sukai selama 7 tahun ternyata tidak menyukai saya, hahahaha lol! Fyi, ini pertama kali saya berani go public akan perasaan sendiri yang ternyata bertepuk sebelah tangan. Mengetahui fakta tersebut tentu saya sakit hati luar biasa, tetapi tuhan Maha baik kepada hambanya sehingga membuat saya sibuk dengan kegiatan organisasi dan pada akhirnya mau nangis pun tidak ada waktu. Setelah berhasil move on dengan semua kesedihan itu, tuhan kembali memberikan saya kebahagiaan yang berkali lipat, mulai dari mendapat pekerjaan untuk mengajar sampai rezeki lainnya. 
    Tepat pada tanggal 6 Desember 2021 malam Selasa, saya memutuskan untuk pulang kampung dengan alasan hanya rindu dan akan pulang hanya dalam waktu seminggu. Rencana kepulangan tersebut memang sungguh dadakan, tetapi dengan niat dan tekad, akhirnya hari Selasa jam 12.00 saya tiba di rumah. 
    Sebelum saya lanjutkan, saya ingin mengajak teman-teman flashback. Beberapa hari sebelum saya pulang, saya sangat takut terhadap kematian. Selain karena waktu itu terdapat banyak sekali artis sampai selebgram yang meninggal, saya juga merasa sangat takut kematian akan segera menghampiri saya. Perasaan takut tersebut juga saya ceritakan kepada dua sahabat saya yang biasa saya sebut kelors. Dari saking gilanya, saya sampai memberikan wasiat bahwa apabila saya beneran meninggal dalam waktu dekat, saya ingin semua sosial media saya dihapus karena saya pribadi takut untuk melihat foto orang yang sudah meninggal, jadi saya tidak mau foto saya tetap dilihat orang lain. 
    Ok, flashback sudah selesai. Setibanya di rumah, seperti biasa kegiatan rumah mulai menyapu, mencuci piring, dan memasak juga saya ikut membantu. Pada hari Jumat, saya bersama ibu sowan ke pesantren karena sudah lama kami tidak sowan. Sebelum berangkat sowan, ibu memang mengeluh sakit kepala, tetapi namanya juga ibu, kuatnya minta ampun padahal sudah saya larang untuk tetap berangkat. Setibanya di pesantren, ibu muntah. Tentu saya sangat panik karna jarak pesantren ke rumah kami sangat jauh dan harus ditempuh dengan perjalanan kurang lebih satu jam setengah. Singkat cerita, saya sowan sendirian dan menyuruh ibu untuk tidur di kamar santri. Setelah sowan dan bertemu dengan teman-teman sebentar, kami segera pulang. Sebelum naik ke atas motor, ibu kembali muntah. Saya tetap berusaha untuk tenang dan membantu ibu untuk naik ke motor dan tidak lupa juga dibantu oleh teman-teman yang sudah saya anggap saudara sendiri di pesantren. Karena saya menyetir motor, akhirnya saya meminta ibu untuk memeluk saya dengan erat karna takut ibu pusing dan jatuh. Motor saya bawa dengan kecepatan tidak seperti biasanya. Saya sudah tidak ada pikiran kecuali membawa ibu ke dokter dengan secepat mungkin. Selama perjalanan pulang, ibu muntah darah sebanyak enam kali dan selama itu juga saya tau rasanya sesak melihat orang tua sakit. Saya semakin ingin menghilang dari dunia ketika dokter yang akan memeriksa ibu ternyata sedang diluar. Ahhhh "Fuck" kata itu yang saya lontarkan kepada diri sendiri. 
    Keadaan ibu sudah semakin lemas, bibirnya pucat, dan kami hanya berdua. Karena tidak ada pilihan lain, saya membawa ibu pulang ke rumah dan segera mencari dokter lain untuk datang ke rumah. Sialnya lagi, semua dokter di puskesmas terdekat sedang pergi liburan ke luar kota. Saya kembali emosi karena orang yang harusnya merawat masyarakat justru sedang liburan padahal masyarakat sedang butuh mereka walaupun saya tidak tau alasan mereka, namanya juga sedang emosi. Karena saya tidak ingin menunggu lebih lama, saya segera menelfon seluruh sepupu untuk membantu mengantar ibu ke rumah sakit karena saya sadar kalau anak tunggal dan masih bergantung kepada sepupu-sepupu terutama untuk merawat ibu. Selama perjalanan ke rumah sakit, ibu tidak membuka mata sama sekali dan diare. 
    Ibu di UGD selama kurang lebih 30 menit dan saya tetap berusaha untuk tenang dan menahan air mata yang sebenarnya sudah mau jatuh. Hari Sabtu-Minggu, saya seperti manusia yang tidak mau ada di dunia karena ibu kondisinya sedang kritis. Mata ibu terpejam selama 2x24 jam. Waktu itu adalah waktu dimana saya hancur tetapi harus tetap bangkit. Karena ada sepupu yang menjaga ibu, akhirnya saya pulang ke rumah sebentar untuk mengambil sarung ibu dan juga menyiapkan makanan untuk pak tukang yang sedang bekerja. Saya berharap untuk menangis selama perjalanan, tetapi tidak bisa. Dada saya sesak bahkan ingin rasanya waktu itu saya memeluk semua orang dan meminta orang-orang untuk mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. 
    Setelah berhasil melewati masa kritis, pada hari Senin, ibu bisa membuka mata dan mulai tersenyum melihat saya yang berusaha untuk melawak demi menghibur ibu. Tuhan Maha baik, tuhan tidak pernah meninggalkan hambanya . syukron yaa rabb. Allah SWT mengabulkan doa saya untuk kesembuhan ibu sehingga pada hari Selasa, ibu minta untuk dibawa pulang dan akhirnya bisa sehat seperti semula. 
    In the end of the day, only Allah SWT who can make me feel "everything is gonna be okay". Saya belum bisa mandiri karena pada kenyataannya saya masih membutuhkan semangat dari banyak orang, sahabat, dosen, guru, dan keluarga. Semoga kita semua selalu sehat, panjang umur dan lancar rezeki aamiin Allahumma aamiin.

Saturday, December 4, 2021

Berani Merantau, Berani Mendapat Resiko

    Biaya Hidup versi anak rantauan
Sebelum merantau, sering sekali mendengar orang-orang memberikan peringatan untuk tidak mengambil risiko dengan merantau disebabkan biaya hidup yang katanya mahal luar biasa. Fyi, menulis tulisan ini bukan berarti aku sudah mandiri, tetapi aku hanya ingin meluruskan sesuatu yang sering ditakuti oleh semua orang, yaitu biaya hidup. 
    Gini loh mas, mbak, wkwkwk ketika merantau, yang mahal itu bukan biaya kuliah atau makan, tetapi justru gaya hidup. Kalau kita mengikuti trend kekinian, ya jangan berharap uang 100k bisa cukup seminggu wkwkw. Ok, biar jelas aku coba rinci satu persatu. 
    Biaya kuliah di PTN biasanya yang sudah kelas sultan 8 juta, tetapi jangan khawatir karena banyak beasiswa yang ditawarkan tinggal bagaimana kita ikhtiar untuk mendapat beasiswa tersebut. Bagaimana sih caranya mendapat beasiswa? Gampang, kuncinya adalah belajar konsisten, ikuti lomba soal menang kalah urusan terakhir dan perbanyak pengalaman organisasi. Kalau dapat beasiswa, uang kuliah sudah aman loh wkwkw bahkan bisa-bisa dapat tambahan bonus misal uang saku. 
    Next, biaya makan. Jujur, ketika awal sampai Jogja, aku juga sempat mengalami yang namanya culture shock. Biaya makan di Jogja memang sedikit lebih mahal dari pada di kampung yang 3k/5k aku sudah bisa makan dengan lauk yang banyak. Namun, sampai di Jogja, justru 5k cuma bisa untuk nasi, tetapi itu waktu aku Maba. Oh iya, Jogja juga diwarnai oleh angkringan yang nasi kucingnya (karena porsinya seperti porsi kucing wkwkw) yang harganya kurang lebih 2.500, tetapi kalau porsi makanmu porsi kuli ya beda cerita wkwk. Singkat cerita, kalau kamu pintar dalam mencari warung yang murah, 5k sudah bisa dapat nasi + lauk kok, ya tapi ingat lauknya tidak seperti di rumah ya mas mbak wkwk, toh namanya merantau, ya belajar sederhana. Kalau ingin makan ayam yaaaa sulit karena minimal harus nyiapin duit kurang lebih 12k (nasi+minum). Ok cukup segitu ya soal makanan wkwkw. 
    Sekarang kita pindah ke biaya tempat tinggal alias kos. Kunci cari kos yang murah adalah kos yang tidak terlalu dekat dengan kampus karena semakin dekat dengan kampus, maka semakin mahal juga biaya kos. Loh kalau jauh gimana yul? Kalau tidak punya motor gimana? Don't worry! Di rumah sering jalan kaki kan? Masak jalan kaki 500m/1km aja nggak kuat wkwk. Biaya kos juga beda-beda tergantung fasilitas. Beruntungnya aku adalah penganut prinsip "asal bisa tidur, ada kamar mandi yang bersih, dan dekat dengan warung makan" sehingga jalan kaki ke kampus dan tidak ada fasilitas seperti AC, dan tempat olahraga sudah biasa. Kalau kata emmak, "hidup merantau itu ya belajar sederhana bukan mewah". Ya beda ceritanya kalau kamu pengin dapat kos yang ber AC, ada kasur, ada lemari, dan dekat dengan kampus, maka siapkanlah uang yang tidak sedikit wkwkw.
    Wah, sepertinya celotehan kali ini harus ku akhiri mengingat bis yang ku tumpangi untuk berangkat ngajar sudah hampir tiba wkwkw, ya aku menulis caption ini sambil duduk di bis menikmati kota Jogja dengan orang-orang yang mulai sibuk karena pada kenyataan nya hari ini sudah hari kerja kembali. Semangat