Wednesday, March 24, 2021

Manusia Dengan Sejuta Senjatanya

    
    Saat itu kegiatanku sangat full, mulai dari kuliah, bolak-balik ke fakultas karena beberapa urusan, sampai dengan rapat organisasi. 
     Hari itu aku sedang puasa sunnah karna you know aku sangat malas makan sehingga aku menjadikan peluang untuk mencari pahala saja. Ketika semua kelas sudah selesai, aku bersiap-siap untuk tidur sebentar sebelum memasak buat buka puasa. Unfortunately, bad messages come to me.
    Tidak perlu ku jelaskan bagaimana pesan itu yang mungkin orang tersebut ketik dengan biasa saja, tanpa merasa tidak enak hati, atau bahkan dia hanya ingin membela diri bisa membuat aku yang dalam sebulan belum menangis akhirnya mengeluarkan air mata. 
    Planningku untuk tidur hancur even buka puasa ku jadikan satu dengan sahur pada jam 1 dini hari. Dari pesan yang ku baca sambil menahan diri untuk tidak membuang HP ku waktu itu, aku belajar banyak hal. 
    Selama ini, aku selalu menampakkan satu prinsip di dalam hidupku terutama ketika berada di tengah banyak orang, yaitu baiklah kepada semua orang. Memang, hal itu tidak salah. Sebagai orang muslim, mempunyai pribadi yang baik memang dianjurkan karena agama Islam tidak menyukai adanya pertengkaran. 
   Waktu itu, lagi dan lagi, aku cuma menangis beberapa menit sebelum aku sadar that I am not weak. Kenapa aku harus menangisi sesuatu yang justru hal tersebut bukan salahku. Sebaliknya, dia yang jelas-jelas salah, teledor justru melontarkan kesalahannya kepada orang lain.
     Satu hal yang sangat aku sayangkan jika menjadi orang yang seperti itu bahwa sebagai manusia kita takut untuk salah hingga melontarkannya kepada orang lain.
    Sebagai manusia, kita terlalu sombong dan gengsi sekalipun hanya untuk mengucapkan terimakasih untuk hal sekecil apapun, untuk informasi apapun, dan untuk jasa apapun. Sebagai manusia, Kita terlalu dikontrol oleh pikiran yang selalu menuntut untuk menjadi pemenang even dirinya sendiri sudah mengalami kekalahan. Sebagai manusia, kita terlalu lupa bahwa kita bukanlah siapa-siapa.
     Aku tidak merasa lemah ketika aku hanya membalas pesannya tetap menggunakan emoticon senyum even aku minta maaf, tetapi justru aku bangga. Aku bangga karena ternyata aku sudah berubah mulai aku yang dulu gengsinya menembus langit sampai aku yang akhirnya bangga karena membalas cacian dengan pujian. 
     Biarkan dia menanggung semuanya karena sejatinya, ada tuhan yang lebih mengetahui semuanya.
Stay humble

Monday, March 1, 2021

Sekedar Renungan

    Beberapa akhir ini aku sering banget merasa butuh untuk menyusun ulang semua hal, mulai dari barang-barang yang ada di dalam kamarku, planning, goals, sampai dengan sesuatu yang pantas untuk ku pikirkan dan yang hanya pantas untuk singgah sementara. Namun, di balik semua itu, prosesnya ternyata tidak gampang. 
    Selain semesterku mulai mendorong untuk benar-benar serius dalam menjalaninya, ternyata aku mengalami satu titik dimana aku lelah berorganisasi tetapi itu hanya berlangsung selama beberapa hari, ya mungkin hanya karena aku sedang capek dan butuh me time.
    Dari semua kejadian dan pikiran yang menguras tenagaku, satu yang benar-benar membuat aku emosi dan noted, aku belum pernah se emosi itu sebelumnya.         Suatu hari, temanku menelfon dalam keadaan menangis. Sebelumnya aku sudah tau dari teman-temannya kalau dia sedang patah hati disebabkan pacarnya selingkuh. 
    Dia berbicara dengan suara yang terdengar sangat depresi sambil menangis dan memintaku untuk membawaku kabur dari tempatnya waktu itu. Ya, hal itu yang benar-benar membuat aku emosi ketika ternyata dia mengira aku orang yang bisa diajak kompromi dalam keburukan. 
Sambil menahan emosi yang mulai berada di ujung kepala, aku menanyakan alasannya ingin kabur dan ternyata setelah ku tanyakan berkali-kali, dapat ku simpulkan bahwa alasan dari depresinya adalah karena dia sedang patah hati bahkan orang tuanya waktu itu juga ikut menelfon dan meminta bantuanku.
    Aku tidak ingin ikut campur dalam urusan perbucinannya, tetapi yang belum bisa membuat aku berpikir secara normal adalah kenapa dia justru berpikir bahwa aku akan membantunya mendapat jalan keburukan or in other hand, dia menganggapku sebagai orang yang tidak baik. 
    Selama ini, aku tidak hanya berinteraksi dengan satu ataupun dua orang mulai yang sebatas teman sampai sahabat, mulai dari waktu aku masih introvert sampai ambivert. Aku tidak sungkan menunjukkan sifat asliku di depan mereka, bagaimana ketika aku tertawa yang sangat berisik, bagaimana aku berpendapat, sampai bagaimana aku menegur orang ketika mereka melebihi batas ataupun bagaimana aku yang meminta koreksian setiap ingin mengoreksi diri sendiri. 
    Dari kejadian bersama temanku itu, aku baru sadar bahwa ternyata sifat perhatian yang aku tunjukkan kepada dia bahkan ketika semua orang menjauhinya membuat dia merasa bahwa aku juga bisa diajak kompromi dalam hal keburukan and that killed me so much. So, the main point of this writing is, make a space with everyone.