Friday, November 27, 2020

Penutup Kepala

    Eumm kangen banget nulis di blog setelah seminggu dibikin gila sama tugas kampus yang ngalirnya lebih deras dari pada air terjun.  
    Setelah kurang lebih dua tahun merantau di Jogja, akhirnya aku mulai bisa menyesuaikan diri baik dalam hal sosialisasi, pakaian ataupun bahasa baik ketika di rantauan ataupun di kampung halaman. 
    Jika seseorang menemui aku di Jogja dan di rumah, maka dia pasti akan melihat perbedaan yang sangat mencolok terutama dalam hal pakaian yang aku pakai. 
     Emang penting ya menyesuaikan pakaian dengan lingkungan Kita?
     For me, hal itu penting banget karna aku tinggal di sebuah desa yang masih memegang nilai agama dengan sangat kuat sehingga tidak mungkin sekali kalau ketika ada di rumah, pakaianku tidak resmi seperti ketika di kos. 
     Ketika pulang ke rumah, ibuku selalu mengingatkanku supaya tidak memakai celana walaupun dengan baju yang panjangnya sampai lutut. Namun, apakah lantas ketika aku sedang di Jogja anti dengan orang yang penampilannya berbeda? 
    Jawabannya adalah tidak. Justru dari mereka lah aku mulai belajar kalau yang namanya pakaian tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan sebuah penilaian. Ketika kumpul bersama teman-teman dan waktu itu aku sedang pakai gamis, aku selalu bilang sama mereka supaya mereka tidak menjudge aku sebagai perempuan yang ketika ngomong nggak pernah ada kata kasar karena pada faktanya, aku juga masih bar-bar.
    Kata orang-orang, seorang perempuan akan terlihat cantik dari cara dia memakai jilbab. Well, aku tidak begitu yakin dengan semua itu. 
    Seiring berjalannya waktu, gaya memakai jilbab juga sudah mulai berkembang dan tentunya lebih keren dari pada sebelumnya, mulai dari gaya jilbab yang tanpa jarum sampai dengan yang harus memakai jarum satu uleran. 
    Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu temanku (perempuan) di suatu tempat. Perempuan itu adalah temanku yang bisa dibilang cukup akrab karena kita sedang mengurusi pekerjaan yang sama. 
     Kami bertemu di sebuah lobby karena sedang ada janji dengan seorang klien. Seperti biasa, aku tidak pernah peduli dengan pakaian seseorang karena masih banyak hal di otakku yang justru lebih membutuhkan kepedulianku/perhatian. Namun, semua itu berubah. 
     Setelah kami bertemu dengan klien tersebut yang juga sama-sama perempuan, tiba-tiba dia melontarkan perkataan yang tidak enak untuk didengar yang inti dari perkataannya adalah sebuah pertanyaan yang menurut aku sebagai seorang yang pernah belajar pragmatik, maksud dari perkataan klien tersebut adalah pernyataan. 
    Klien tersebut marah hanya karena jilbab yang dipakai oleh temanku tidak rapi dalam penilaiannya bahkan sempat menyinggung soal "kafir" berdasarkan info dari temanku yang lain yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama.
     Hal yang sangat aku sayangkan adalah omongan si klien membuat aku dan teman-teman yang lain mulai sangat paham kalau setinggi apapun pendidikan seseorang, omongan tetap menjadi sumber penilaian yang utama.
     "Kok kamu temenan sama orang yang nggak pakai jilbab sih Yul?"
    "Kok kamu temenan sama orang yang tinggal sekamar dengan cowoknya sih Yul?"
    Pertanyaan itu sudah sangat sering aku dengar dan justru aku heran terhadap orang yang bertanya karena mereka sepertinya belum paham arti hidup yang sebenarnya. Kalau Kita hanya berputar di lingkaran yang sama, lantas kapan kita akan mencapai puncak?

Friday, November 13, 2020

Apakah Aku Seburuk Itu?

 
   Beberapa tahun yang lalu, aku sudah sering mendengar cacian dari orang-orang, baik yang jauh ataupun yang dekat.                   Awalnya, aku memikirkan bahkan terbawa perasaan gara-gara cacian mereka, tapi dengan berbagai cara mulai dari tinggal di pesantren, memutar otak supaya bisa menjadi juara kelas sampai akhirnya aku bisa melupakan semua itu.
      Memasuki kelas akhir SMA, cacian mereka kembali terdengar. Selalu ada saja topik-topik tentang aku yang mereka gosipkan. Topik dari cacian itu yang paling membuatku heran adalah cacian mereka karena aku belum memiliki pasangan.              "Hello, this is my life, and you can not control it!"
    Kalimat itulah yang selalu aku teriakkan dengan sangat keras di dalam hatiku sendiri supaya tidak merasa panas.
Setelah berubah status dari mahasiswa menjadi mahasiswa, aku pikir bisa membuat orang bungkam dan tidak mencaciku lagi karena sebelumnya, mereka justru memuji orang yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, ternyata dugaanku salah. Mereka tetap saja selalu merasa puas ketika bisa menggosipkan orang lain. 
    "Cewek kok kuliah ke luar kota? Pasti pulangnya nanti jadi perempuan ugal-ugalan." 
    Aku hanya tersenyum ketika mendengar cerita dari kerabatku tentang ucapan orang-orang.
     Ketika ada waktu luang, aku selalu berpikir, kenapa orang-orang yang selalu menjadi bahan gosip adalah orang dari kalangan biasa? Padahal kalau dilihat-lihat anak kepala desa, dan pejabat yang lainnya pun juga cocok buat dijadikan bahan gosipan. 
   Kata Henry Manampiring dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras, jangan terlalu sibuk dengan hal yang diluar kendali kita yang salah satu contohnya adalah opini orang lain. 
   Setelah membaca buku itu, aku tertampar dan aku merasa bodoh karena selama ini aku masih menjadi orang amatiran yang suka terbawa perasaan dengan omongan orang lain. 
    Ada satu lagi yang benar-benar membuatku sadar kalau orang akan tetap membudayakan gosip sekalipun kita tidak ada di tanah itu. 
    Anyway, dari pada kelamaan aku ngecurcol mending aku kasik tips supaya bisa membungkam omongan orang.
1. Abaikan mereka
Jika dalam satu acara ternyata kalian bertemu dengan para 'gosipers', tugas kalian jadilah orang yang tuli. Mereka akan berhenti kalau sudah capek.
2. Tidak usah ngomel-ngomel atau mencaci balik mereka di sosial media seperti FB, IG, story WA atau yang lai n karena kalau kalian melakukan hal itu, maka mereka akan semakin memiliki semangat untuk bergosip.
3. Lakukan yang terbaik!
Jangan sampai karena omongan orang-orang tentang kalian lantas kalian menjadi down dan tidak percaya terhadap dirinya sendiri karena kalau hal itu terjadi sama saja kalian kalah dengan mereka.

Itu mungkin beberapa tips yang biasa aku terapkan di dalam kehidupanku pribadi. 
Semoga bermanfaat 💞

Friday, November 6, 2020

Logika dan Perasaan

    Tentu saja, aku adalah perempuan normal sehingga sering heran ketika ada yang bilang kalau aku tidak pernah terlihat seperti memiliki pengalaman dalam dunia percintaan. Sejak merantau untuk kuliah, aku memang sudah taubat dari perbucinan dan ternyata aku merasa merdeka.
     Buat teman-teman masa kecil sampai di SMA ku, mungkin mereka tidak asing lagi kalau tiba-tiba aku bilang kalau aku sedang mengagumi seorang laki-laki karena sejarah kebucinanku memang tidak hanya satu ataupun dua tahun.
     Selayaknya orang banyak, aku juga pernah merasa sia-sia ketika waktuku hanya ku habiskan untuk mengagumi ataupun menyukai seseorang. Namun, justru dari pengalaman itu, aku mulai bisa menulis sekalipun tidak pantas untuk dibaca orang lain dan mulai abai dengan perasaan.
     Di umur yang ke-20 tahun ini, aku melihat satu sisi yang berbeda di dalam diriku sendiri, yaitu aku mulai tidak takut untuk menunjukkan ataupun menceritakan kepada teman-teman jikalau suatu saat nanti ada seorang laki-laki yang aku kagumi.
     Segala sesuatu yang ada di dunia memiliki banyak resiko termasuk jatuh cinta. Aku tidak menyesak, sama sekali tidak, atas pengalamanku di masa lalu karena sekali lagi, semua itu memberiku banyak pelajaran berharga.
      Apakah perempuan tidak boleh mencintai duluan?
     Pertanyaan itu memang pertanyaan lama, akan tetapi masih banyak perempuan yang di cap "girlish" hanya karena mereka mencintai seorang laki-laki dan seakan-akan perempuan tidak memiliki hak atas perasaannya sendiri.
     Di awal menulis ini, banyak ide yang ada di dalam benakku, tapi ternyata pembahasan tentang cinta memang belum bisa aku jelaskan dengan baik.

Hmmm baiklah, mari kita akhiri saja tulisan ini karena ternyata cinta itu memang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata (eakkk)😅.