Eumm kangen banget nulis di blog setelah seminggu dibikin gila sama tugas kampus yang ngalirnya lebih deras dari pada air terjun.
Setelah kurang lebih dua tahun merantau di Jogja, akhirnya aku mulai bisa menyesuaikan diri baik dalam hal sosialisasi, pakaian ataupun bahasa baik ketika di rantauan ataupun di kampung halaman.
Jika seseorang menemui aku di Jogja dan di rumah, maka dia pasti akan melihat perbedaan yang sangat mencolok terutama dalam hal pakaian yang aku pakai.
Emang penting ya menyesuaikan pakaian dengan lingkungan Kita?
For me, hal itu penting banget karna aku tinggal di sebuah desa yang masih memegang nilai agama dengan sangat kuat sehingga tidak mungkin sekali kalau ketika ada di rumah, pakaianku tidak resmi seperti ketika di kos.
Ketika pulang ke rumah, ibuku selalu mengingatkanku supaya tidak memakai celana walaupun dengan baju yang panjangnya sampai lutut. Namun, apakah lantas ketika aku sedang di Jogja anti dengan orang yang penampilannya berbeda?
Jawabannya adalah tidak. Justru dari mereka lah aku mulai belajar kalau yang namanya pakaian tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan sebuah penilaian. Ketika kumpul bersama teman-teman dan waktu itu aku sedang pakai gamis, aku selalu bilang sama mereka supaya mereka tidak menjudge aku sebagai perempuan yang ketika ngomong nggak pernah ada kata kasar karena pada faktanya, aku juga masih bar-bar.
Kata orang-orang, seorang perempuan akan terlihat cantik dari cara dia memakai jilbab. Well, aku tidak begitu yakin dengan semua itu.
Seiring berjalannya waktu, gaya memakai jilbab juga sudah mulai berkembang dan tentunya lebih keren dari pada sebelumnya, mulai dari gaya jilbab yang tanpa jarum sampai dengan yang harus memakai jarum satu uleran.
Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu temanku (perempuan) di suatu tempat. Perempuan itu adalah temanku yang bisa dibilang cukup akrab karena kita sedang mengurusi pekerjaan yang sama.
Kami bertemu di sebuah lobby karena sedang ada janji dengan seorang klien. Seperti biasa, aku tidak pernah peduli dengan pakaian seseorang karena masih banyak hal di otakku yang justru lebih membutuhkan kepedulianku/perhatian. Namun, semua itu berubah.
Setelah kami bertemu dengan klien tersebut yang juga sama-sama perempuan, tiba-tiba dia melontarkan perkataan yang tidak enak untuk didengar yang inti dari perkataannya adalah sebuah pertanyaan yang menurut aku sebagai seorang yang pernah belajar pragmatik, maksud dari perkataan klien tersebut adalah pernyataan.
Klien tersebut marah hanya karena jilbab yang dipakai oleh temanku tidak rapi dalam penilaiannya bahkan sempat menyinggung soal "kafir" berdasarkan info dari temanku yang lain yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama.
Hal yang sangat aku sayangkan adalah omongan si klien membuat aku dan teman-teman yang lain mulai sangat paham kalau setinggi apapun pendidikan seseorang, omongan tetap menjadi sumber penilaian yang utama.
"Kok kamu temenan sama orang yang nggak pakai jilbab sih Yul?"
"Kok kamu temenan sama orang yang tinggal sekamar dengan cowoknya sih Yul?"
Pertanyaan itu sudah sangat sering aku dengar dan justru aku heran terhadap orang yang bertanya karena mereka sepertinya belum paham arti hidup yang sebenarnya. Kalau Kita hanya berputar di lingkaran yang sama, lantas kapan kita akan mencapai puncak?